Saya berpikir, paling-paling hanya para pedagang sayur yang sibuk menuju ke pasar. Pagi itu ternyata dugaan saya salah besar. Dengan bermodal sepeda motor butut keluaran tahun tujuh puluh enam, saya melihat jalanan kota Banda Aceh yang umumnya pengguna jalan raya dari kaum ABG(Aneuk Bineh Gle?) gaul muda mudi yang mondar-mandir balap-balapan sepeda motor diantara para sopir labi-labi sibuk yang mengangkut penumpang penjual sayur setelah sahur ke Pasar Peunyong dan Pasar Keudah.
antara-sumbar.com |
Disepanjang pengguna jalan, yang lebih mengherankan lagi ternyata ada juga berpasang-pasang muda-mudi berpelukan hingga kedua ‘SGM’ si mudi menempel erat di punggung sang lelaki kekasih hatinya. Para pejalan kaki sacara berkelompok juga tak mau ketinggalan, tawa riang gempita seakan-akan ini bukan bulan puasa.
Asmara Subuh
Saya tidak tau persis kapan istilah "asmara subuh" pertama kalinya digunakan di Aceh. Sejak masa saya kecil tahun 1990 juga sudah menjadi budaya tersendiri bagi muda mudi berpacaran seusai shalat subuh. Tidak hanya di kota saja, di kampung-kampung seluruh penjuru Aceh juga terjadi hal demikian adanya. Lalu apakah ada yang salah ketika asmara subuh dilakukan? Jika kita melihat dari kata asmara sudah jelas penggunaannya pada orang-orang yang berpacaran dilalu lintas jalan. Ada juga beberapa yang hanya melakukan olah raga untuk kesehatan jiwa raga. Setelah usai subuh tentunya sambil menungu suasana benar-benar terang untuk menjuju ke aktivitas masing-masing.
Budaya asmara subuh sudah sangat mengakar sekali dalam tradisi masyarakat Indonesia umumnya dan dalam masyarakat Aceh khususnya yang sudah menerapkan syariat islam sebagai landasan hukum orang Aceh untuk hidup beretika menuju masyrakat yang islami. Perlukah ini kita pertahankan?
Para muda-mudi yang melakukan lalu lintas jalan raya sambil bercanda riang dan tawa tentu jelas saja tidak bermanfaat sedikitpun. Jika saja alasan kita hanya untuk melakukan olah raga setelah waktu subuh itu sah-sah saja demi menjag kebugaran tubuh. Namun jika yang kita lakukan kebut-kebutan sepmor di jalan raya adalah hal yang tidak bermanfaat sedikitpun. Lebih-lebih lagi jika berpacaran yang notebenenya di bulan puasa mestinya kita menghindari hal-hal yang bisa merangsang nafsu syahwat agar puasa aman dan lancar serta mendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Saya tidak tau apakah para muda-mudi itu melakukan puasa atau hanya mogok makan saja.
Sebagai orang tua sudah semestinya kita menjaga anak-anak kita dari hal yang dapat melenceng kepada arah keburukan agar terjaga anak-anak kita dari pekerjaan syaitan laknatillah yang selalu ‘setia’ mengoda kita. Pemantaun orang tua untuk menjaga anak-anaknya supaya setelah shalat subuh berjamaah agar langsung saja pulang ke rumah dan melakukan aktiiftas bermanfaat. Jangan kita berharap bahwa ini sudah menjadi tanggung jawab Polisi Syariat( Wilayatul Hisbah) untuk menertibkannya. Jika kta sanggup beranak banyak-banyak, lalu sanggupkah kita mendidiknya ke jalan yang benar?
Fenomena asmara subuh merupakan simbol degradasi moral remaja kita sekian lamanya. Jika pembaca sepakat dengan saya. Lihat saja tingkah polah remaja kita. Inilah kondisi para remaja muda mudi Aceh penerus generasi bangsa kita kedepan. Etika dan moral kita sedang di uji memang, kata para ahli kitab. Siapa yang harus kita salahkan? peran orang tua sebagai tanggung jawab terhadap anak-anaknya yang mengikuti ‘ritual’ asmara subuh sudah sepantasnya kita didik anak-anak kita agar menjaga puasanya dari hal-hal yang dapat membatalkan pahala puasa.
Saya pernah jadi remaja, masa bulan puasa tentu jadi hal yang paling indah dimasa masa ini. Masa tadarus di Meunasah adalah hal yang tak dapat dilupakan. Bercanda dan menggangu sesama teman yang ketiduran. Membakar 'nyamuk gajah' bagi yang tidur. bercerita tentang hantu hantu yang ada dikampung.
Tapi inilah yang terjadi. Para Orang tua kadang cuek saja melihat keadaaan seperti ini, mereka menyebut; ah, biasa anak muda. Sudah Dok Mandum (SDM) kita rupanya. Han ek tapike, donya mandum!
No comments:
Post a Comment