ESSAI
2/04/2018 10:44:00 PM
Mitigasi Bencana dan Kearifan Lokal
SEJAK ditetapkan aturan undang-undang
Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,Indonesia telah mengubah paradigma
dalam upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Dalam UU itu disebutkan definisi
mitigasi sebagai serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana.
Indonesia secara umum dan Aceh
khususnya merupakan kawasan potensi bencana alam, diantaranya: gempabumi,
tsunami, banjir, longsor, letusan gunung api.
Jika dulu bencana hanya disibukkan pada masa tanggap darurat, sekarang
tahapan penanggulangan bencana setidaknya terbagi dalam tigal hal: prabencana,
saat bencana, dan pascabencana.
Berbicara bencana tidak bisa lepas dari pengetahuan dan penerapan
kearifan lokal. Sejak gempabumi dan tsunami Aceh 2004, yang merenggut ratusan
ribu jiwa dan korban harta benda, telah mengajarkan masyarakat pentingnya
memahami upaya mitigas bencana alam dari berbagai sudut pandang pengetahuan.
Dalam UU No. 24 Tahun 2007 itu
dijelaskan tentang mitigasi bencanasebagai upaya pengurangan risiko bencana
dapat dilakukan dengan dua hal secara garis besar: bersifat struktural dan
non-struktural. Mitigasi struktural bisa dikategorikan pada upaya pencegahan
dengan pembangunan fisik serta pendekatan teknologi. Upaya mitigasi
non-struktural merupakan serangkaian upaya mengurangi dampak kejadian bencana,
diantaranya, kebijakan aturan, edukasi pengurangan risiko bencana, dan sebaran
pengetahuan masyarakat terkait upaya pengurangan risiko bencana alam.
Jika kita merujuk pada upaya
mitigasi non-struktural, salah satu yang lazim diketahui oleh masyarakat yang
rentan terhadap bencana adalah pengetahuan kearifan lokal masyarakat. Aceh
memiliki banyak kearifan lokal (lokal
wisdom)yang masih belum diketahui oleh masyarakat secara luas.
Berkaca pada gempadan tsunami
2004 lalu, kita bisa belajar pada masyarakat Pulau Simeuleu melalui kearifan
lokal dalam bentuk dendang syair nandong yang
mereka miliki.Syair tersebut
mengajarkan mereka selamat dari smong (tsunami).Upaya
ini dinilai sangat efektif tentang pengurangan risiko bencana melalui
pendekatan budaya masyarakat setempat.
Menurut Yogaswara dan Yulianto
(2011) dari LIPI yang meneliti tentang smong,
masyarakat Pulau Simeulu senantiasa mengingatkan anak cucunya akan bahaya yang
mengancam saat terjadi goncangan bumi.Berkat pengetahuan yang diajarkan turun
temurun itu, terbukti pada gempabumi dan tsunami 2004 silam, Simeuleu tidak
banyak korban jiwa. Yogaswara dan Yulianto menyebutkan di Simeulu hanya menelan
korban kurang dari 10 orang, padahal jika dibandingkan dengan Banda Aceh dan
daerah lainnya, Pulau Simulue berjarak sangat dengan dekat pusat gempa.
Jatuhnya ratusan korban jiwa saat
gempabumi dan tsunami Aceh 2004 tidak terlepas dari tidak adanya pengetahuan
masyarakat tentang tanda-tanda bencana besar selepas gempa. Hal ini tentu saja
berbeda dengan kondisi masyarakat di Simeulu yang ‘mengenal’ tsunami dengan
sebutan smong.
Smong yang disebut-sebut dalam syari nandong mengandung pesan mengenai bencana tsunami yang pernah
berlangsung pada tahun 1907 di kawasan itu. Disampaikan bahwa jika terjadi gempabumi
diikuti surutnya air dibibir pantai,kita harus mencari tempat yang lebih
tinggi.
Pengetahuan bencana dalam bentuk
kearifan lokal masyarakat tentu saja sangat penting dan harus diajarkan kepada
masyarakat Aceh dalam berbagai bentuk pendidikan dari keluarga dan kurikulum
sekolah atau pesantren. Pengetahuan
bencana dalam bentuk kearifan lokal masyarakat setempat sangat penting
dilakukan untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dan menjadi masyarakat yang
tangguh serta sadar akan bencana. Sudah seharusnya, kita mesti belajar pada
kejadian tsunami 2004 dengan terus memberikan pengetahuan kearifan lokal yang
sinergis dan berkesinambungan secara terus menerus.
Bentuk penyebaran pengetahuan
kearifan lokal bisa saja dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui syair-syair
sesuai bahasa daerah setempat seperti yang dilakukan oleh masyarakat Pulau
Simeulu. Sudah seharusnya, kita yang hidup di kawasan rawan bencana alam di
Indonesia mesti sigap, tanggap, dan sadar akan potensi terjadi bencana kapan
saja[]
SUMBER: Majalah TUHO, Majalah triwulan terbitan LSM Jaringan Komunitas Masyarakat Aceh (JKMA) Aceh, Edisi Januari 2018
SUMBER: Majalah TUHO, Majalah triwulan terbitan LSM Jaringan Komunitas Masyarakat Aceh (JKMA) Aceh, Edisi Januari 2018