KITABMAOP

Untuk Mengingat Dan Melawan Kesepian

Post Top Ad

#hastek

ESSAI (70) BERITA MEDIA (47) CATATAN HARIAN (47) GoBlog (12) PUISI (11) CERPEN (8)

27 March 2022

3/27/2022 09:33:00 AM

Parkir Suka Suka

  • Saya suka kesal dan jengkel dengan pengendara kenderaan yang suka memarkirkan mobil/motornya di tempat larang parkir. Dipersimpangan jalan misalnya, orang tidak peduli dengan diparkirnya mobil membuat ruas jalan jadi sempit dan melambat bagi pengguna jalan lainnya yang melintas. Ini berimbas pada kemacetan lalulintas. Apalagi jika tiba-tiba ada mobil ambulan lewat, harus diprioritaskan jalan karena sedang membawa pasien gawat darurat.


Ada juga pengendara yang tidak bisa membaca rambu-rambu lalulintas dengan baik dan benar. Misalnya banyak pengendara yang tidak bisa membedakan rambu larangan parkir dan larangan berhenti (stop). Rambu larangan parkir ditandai dengan huruf P kapital dicat warna hitam. Huruf P ini dicoret menyilang dengan warna merah. Huruf P sendiri dimaksudkan sebagai parkir. Sementara larangan berhenti ditandai rambu lingkaran huruf S kapital berwarna hitam dicoret menyilang dengan warna merah. Huruf S sendiri dimaksudkan sebagai STOP.

Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan disebutkan definisi parkir adalah kondisi kenderaan berhenti sementara dan ditinggalkan oleh pengendara dari kursi pengemudi. Sedangkan berhenti adalah keadaan kenderaan tidak bergerak untuk sementara waktu dan dengan pengemudi tetap berada dibangku kemudi.

Pertanyaannya adalah apakah Anda bisa membedakan kedua rambu larangan tersebut? Pada rambu larangan berhenti, jangankan untuk parkir kita tidak diperkenankan sekalipun berhenti dengan radius 15 meter atau atas petunjuk rambu lainnya.

Sementara para rambu larangan parkir, kita boleh berhenti sebentar dengan syarat menghidupkan mesin, menyalakan lampu kuning, tidak meninggalkan kenderaan dari bangku kemudi dan untuk waktu tidak lama berhenti. Bisa 3-5 menit. Kedua rambu larangan ini, kerap sulit dibaca dan dipahami dengan baik oleh pengendara baik itu mobil atau sepeda motor. Rambu rambu lalulintas ini bertujuan untuk kemaslahatan penggunan lalulintas, dipatuhi untuk ketertiban bersama pengguna jalan lainnya.

Saya pernah kagum dengan cerita seorang teman saat menghadiri sebuah hajatan kenduri dilokasi padat rumah penduduk dan lahan parkir yang sempit bagi tamu undangan yang datang mengendarai mobil. Ia memilih tidak jadi masuk ke rumah sang empunya hajatan, memilih pulang karena tidak ada lahan untuk memarkirkan mobilnya. Ia khawatir, jika memarkirkan kenderaan dipinggir jalan, akan membuat akses lalulintas macet. Apalagi jika tiba-tiba akses jalan digunakan oleh kenderaan darurat, mobil pemadam kebakaran atau mobil ambulan. Menurutnya, kepentingan akses jalan bagi publik jauh lebih penting daripada menghadiri sebuah hajatan.

Parkir suka-suka di sepanjang jalan utama lintasan kota, membuat kita kesal dan tingkah laku pengguna jalan. Sewaktu berangkat kerja di pagi hari misalnya, kita jadi saling berebut ruas jalan yang sempit karena ada pengguna yang memarkirkan kenderaan hingga ke badan jalan. Berhenti karen membeli kue atau mengantarkan anak ke sekolah. Satu sisi pengguna lain saling ngebut mengejar batas waktu absensi di kantor. Terlambat lima menit bisa berimbas pada pemotongan gaji.

Ada yang lebih kesal lagi, pengendara yang sengaja melambat kenderaan di jalan. Begitu kita intip, dia sedang asyik bertelepon ria. Mengemudi kenderaan membutuhkan konsetrasi, harus fokus tidak sembarang melakukan kegiatan lain. Kalau mau menelepon, silakan ke pingggir jalan, berhenti sebentar. Sebab jika terjadi kecelakaan, dapat merugikan pengguna jalan yang lain.

Pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang akan patuh dan tertib dalam memarkirkan kenderaannya. Beberapa lokasi publik misalnya membuat larangan parkir dengan tulisan jelas terpampang. Aturan larangan dibuat demi kenyamanan dan ketertiban bersama sama. Tapi yang terjadi adalah, yang membuat aturan, justru dia sendjri yang melanggarnya. Ini manusia minim akhlak dan etika. Pramudya Ananta Toer, sastrawan lagenda Indonesia menyebutkan: seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Banda Aceh sebagai kota besar di Aceh, dengan jumlah kaum terdidik di atas rata-rata, harusnya tiap individu kita malu jika suka parkir kenderaan sembarangan dan mengganggu ketertiban umum. Harusnya kita sadar, bahwa memarkirkan kenderaan di tempat larangan parkir dan mengganggu ketertiban umum, juga bagian daripada pelanggaran syariat Islam itu sendiri. []

telah tayang di Tabloid Gema Baiturrahman, Jumat 18 maret 2020

https://gemabaiturrahman.id/parkir-suka-suka/


3/27/2022 09:20:00 AM

 


 

Beberapa hari lalu, saya kehilangan sandal di masjid. Ini bukan pertama kali tragedi kehilangan alas kaki saat ke masjid. Anda mungkin juga pernah dan bahkan sering mengalaminya. Sangat menyebalkan sekali, harus pulang dengan kaki telanjang hingga sampai di rumah. Saya sangat yakin Allah tau siapa yang mengambil sandal saya di masjid. Apalagi sandal favorit kita, sandal kebanggaan.  Jikapun sandal saya tertukar, saya sudah memaafkan. Tapi tidak akan bisa saya lupakan. Pernahkah Anda kehilangan sandal atau sepatu sewaktu salat atau singgah di sebuah masjid?

 

Jika iya, maka mungkin saja pernah menemukan atau membaca pesan yang sepertinya membuat Anda akan ikhlas atau ridha ketika hilang sandal di masjid: kehilangan sandal di masjid hanyalah musibah kecil, musibah besar itu ketika sandal kita tidak pernah kelihatan ada di masjid. Membaca  pesan ini membuat hati saya sedikit terhibur. Saya lebih tenang atau sekadar ridha atas kehilangan alas kali. Saya berpikir, bisa saja sandal saya tertukar atau diambil dengan sengaja oleh orang lain. Bukan dicuri. Agar hati ini lebih ikhlas kehilangan barang milik sendiri.

 

Bicara tentang sandal kita sewaktu ke masjid, alangkah lebih baiknya kita juga perhatikan etika dan akhlak dalam meletakkan sandal/sepatu. Kerap kali sewaktu salat berjamaah ke masjid, saya lebih sering memperhatikan bagaimana tingkah laku para pengunjung / jamaah yang melaksanakan salat berjamaah. Apalagi pada waktu salat jumat tiba. Ini waktu di mana jumlah jamaah akan bertambah berkali lipat dibandingkan pada salat berjamaah lima waktu lainnya. Banyak masjid yang bahkan melarang para jamaah meletakkan sandal di anak tangga masjid, demi menjaga area suci tempat beribadah tapi diletakkan di halaman atau disediakan tempat khusus. 

Kita kerap menemui semacam tulisan imbauan atau larangan meletakkan sandal di anak tangga masjid. Stop sandal/sepatu. Dilarang meletakkan sandal di tangga dan pesan lainnya demi ketertiban dan kenyamanan bersama agar lebih tertib dan teratur.

 

Ketika saya perhatikan, jamaah yang datangnya lebih awal -ketika khatib belum naik ke mimbar-  yang meletakkan sandalnya di dekat anak tangga masjid akan berisiko sandalnya terinjak-injak oleh jamaah yang datang terlambat. Selanjutnya akan disusul oleh para jamaah lainnya baik yang masbuk atau telat datang karena satu dan lain alasannya. Sandal sandal yang berjejeran itu kemudian menjadi tidak tertib, berserakan di anak tangga masjid. Anehnya, para jamaah yang masbuk ini tanpa merasa berdosa menginjak-injak sandal orang lain, tanpa merasa bersalah.

 

Apakah kita yakin sandal kita bersih dari najis, kotoran anjing atau kucing? Hingga kita berani menginjak sandal orang lain yang lebih dulu meletakkannya dengan rapi? Jika sedang kondisi hujan, maka sandal kita yang terinjak injak itu bukan main kotornya. Saya pernah melihat seorang kakek, yang merepet karena sandalnya kotor terinjak injak oleh sandal para jamaah yang lain. Menyedihkan sekali akhlak kita, niat mulai dari rumah ke masjid untuk beribadah tapi mengganggu kenyamanan para jamaah yang lainnya.

 

Secara penampilan, saya melihat pelaku yang injak-injak sandal orang lain ini adalah orang yang berpakaian rapi dan menggunakan baju khusus beribadah ke masjid. Niat mulia ke masjid untuk beribadah melaksanakan salat jumat akan tidak dapat barokahnya karena tingkah buruk kita menginjak sandal orang lain.  Maka secara kasat mata, saya bisa simpulkan bahwa secara akhlak dan etikanya menuju ke masjid tidak punya  adab sopan dan santun.

 

Memang, ini hal yang sangat sederhana sekali bagi Anda yang tidak peduli akan apa yang terjadi pada sandal orang lain yang Anda injak. Pertanyaannya adalah, apakah Anda yakin alas sandal atau sepatu yang Anda pakai itu terbebas daripada najis yang kemudian bisa membuat sandal orang lain juga terkena najis? Saya yakin, hal sebaliknya juga Anda akan sangat kesal begitu seusai salat, saat memakainya, sandal Anda sudah kotor seperti mobil yang baru saja selesai offroad []

dimuat di Tabloid Mingguan GEMA Baiturrahman, Jumat 4 Februari 2022