KITABMAOP

Untuk Mengingat Dan Melawan Kesepian

Post Top Ad

#hastek

ESSAI (70) BERITA MEDIA (47) CATATAN HARIAN (47) GoBlog (12) PUISI (11) CERPEN (8)

17 June 2013

Saya, Tiga Puluh Tahun Lalu [1]


Pengantar: Sengaja kutulis Catatan Harian kumuh dan kumal ini sebagai pengantar hidup sejauh mana sudah aku melangkah di bumi ini dan bersyukur atas kuasaNya. sebagai bahan ingatan jika sewaktu-waktu aku meninggal, sebagai bahan tertawaan buat diri sendiri dan kenangan bagi keluarga.”Ini djaman boeroek bagi pikieran dan imajinasi, maka kami menulis cerita diri sendiri” begitu tidah Do Karim.

Semenjak kecil saya hidup dengan didikan yang keras dari keluarga. Sering dengan pendidikan disiplin dan kerja yang keras, semasa kecil sudah di didik untuk giat bekerja dan membantu sesama saudara kandung dan lingkungan. saya tidak pernah sepakat kalau anak-anak yang membantu usaha atau kerja ayahnya di sebut pelanggaran Hak Anak. selama itu adalah sebuah didikan untuk menempa hidup, kenapa tidak? Almarhum ayah saya seorang guru sekolah dasar di dekat-dekat kampung kami. Ibu saya seorang petani yang sehari hari pergi ke sawah kala musim tanam padi tiba. Dalam waktu luang itu, ibu terkadang menjadi pekerja yang mengupah pada sawah orang. Ibu saya sekolahnya Cuma tamat SRI (Sekolah Rakyat Indonesia, setingkat dengan MIN/SD sekarang).


Semenjak kecil, ayah telah menjadi yatim. Beberapa cerita masa kecil ayah saya dengar dari cerita nenek dari pihak ayah yang bercerita sewaktu-waktu kadang kala kami menjadi bandel tidak menjadi tauladan seperti Almarhum ayah. Eh, dalam keluarga kami panggilnya Waled. Cerita soal waled juga kami dengar hingga sekarang pada waktu kami telah menjudi dewasa. Waled meninggal pada Maret 1999, saya masi kelas satu STM Bireuen. Ibu masih sangat muda, sewaktu Waled meninggal, umur Mak sekitar 40 tahun, Mak dulunya menikah pada umur 16 tahun, beda jauh dengan Ayah yang berumur 30 tahun. Soal bagaimana cinta ayah sama Mak, nanti pada bagian lain akan kuceritakan khusus. :)

Sebelum masuk sekolah MIN, saya sudah sering di bawa ke sawah oleh Mak, Waled (ayah) seorang guru disekolah dasar di ibu kota kecamatan Gandapura. Beberapa kali dipindah ke sekolah pedalaman karena Waled tidak mau menjadi kepala sekolah, hingga kewajiban tugas Waled untuk wajib membantu kantor kecamatan pada hari selasa dan hari sabtu. Dinas kecamatan menyuruh itu sebagai sangsi karena waled tidak mau menjadi kepala sekolah.

Waled saya juga seorang Tengku imum di kampung, namanya di kalangan dunia sekolah kecamatan lebih dikenal dengan nama “Pak Salda”. Kalau di kampung seringnya dikenal dengan panggilan Tgk. Saleh. Salda itu berakronim dari Saleh Daud. Daud adalah nama dari ayahnya. Sering kali terjadi ketika ada guru atau orang dinas kecamatan yang datan kerumah saya mencari alamat rumah bertanya pada orang kampung, bertanya Rumah Pak Salda, banyak orang kampung tidak tau.

Masa kecil disawah sebelum masuk sekolah, sering dibawa ibu ke sawah, karena kalau ditinggal dirumah tidak ada yang menjaga, nenek juga sering sakit-sakitan, sebagai anak ke empat dari 7 bersaudara. Kami semua keluarga besar. Banyak anak banyak rezeki. Begitu yang kerab terdengar. Dalam keluarga, 4 laki-laki dan 3 perempuan. Yang perempuan semua sudah menikah, sedangkan yang lelaki belum ada satupun, saya lelaki yang kedua dalam keluarga setelah abang saya –yang juga belum menikah Heuheu- padahal dia sebenarnya sudah lebih mampu dan mapan dari berbagai bidang dari saya. :D Abang saya seoang guru bahasa inggris sejak tahun 2005 di SMK Krueng Geukueh, Lhokseumawe.

Anak yang pertama adalah kakak saya, juga seorang Guru Agama di SMK 2 Banda Aceh, seorang ibu dengan tiga orang anak. kakak yang kedua bekerja juga tidak jauh jauh dengan dunia pendidikan, tepatnya staf dinas pendidikan provinsi Aceh. Ya, sebagai keluarga yang ayah berprofesi sebagai guru tentunya ramai kita temui anak-anaknya akan menjadi guru. Adik saya yang perempuan sudah berkeluarga, baru selesai sarjana pendidikan di Universitas Al-Muslim. Ada adik saya dua orang lagi yang sedang semester akhri di Unimus juga kuliah di fakultas keguruan. Oh ada satu lagi yang bungsu, yang paling tampan yang beriman dalam keluarga kami. Sekarang mahasiswa di FKIP Unsyiah, juga kuliah di keguruan. Cuma saya yang kuliah non-guru, tidak ikut tradisi ayah. Dapatkah kita bayangkan seandainya tidak ada guru di dunia ini?

Masa kecil saya adalah masa hidup yang keras bukan kepalang, didikan dalam keluarga juga lebih kerasnya hingga terbentuk karakter saya seperti hari ini. Susah untuk lemah lembut, seringnya kasar. Tapi satu hal yang jangan kalian pertunjukkan pada saya, jangan perlihatkan wanita meneteskan air mata. Saya tidak bisa saksikan adegan itu. Saya luluh walau seberat apapun emosi sedang memanas. Semasa kecil kami sebagai anak anak Waled sering kenak pukul dengan rotan sebesar jempol orang dewasa yang telah di belah menjadi tujuh bagian. Tentu saja ada alasan yang kuat kenapa saya dipukul ayah, kalau sama Mak seringnya di jewer dibagian perut, atau dengan tali timba sumur. Dapat kalian bayangkan gimana sakitnya, Maop?

Pernah sekali waktu sepulang sekolah saya tak pergi mengaji di dayah pada siang harinya karena mandi disungai, sepulang main bola sore hari, sebelum azan magrib menggema, ayah belum pulang dari sekolah. Mak yang sejak siang marah betul karena tidak makan siang selepas ganti baju, langsung mengambil tali timba yang ada disumur, kala itu saya mandi sore sehabis main bola. Malamnya mengaji di Meunasah. Ingat betul kala itu, sampe lima kali Mak memukul saya dengan tali timba, sakit dan lembamnya bukan kepalang, kalau lari tentu akan lebih parah lagi, saya menangis menjadi jadi sambil berucap ngak akan mengulangi perbuatan jelek itu. Nenek yang dari dapur lagi memasak keluar, dibawa handuk untuk mengelap badan saya. Sambil mengucap: “kasep…kasepp…” saya dibawa masuk ke dalam rumah, sampe dalam rumah diolesi obat di betis sya yang kena pukul dari Mak, ayah belum juga pulang. (Bersambung….) Saya, Tiga Puluh Tahun Lalu [2]

Lamnyong, Kamis, 14 Juni 2012. Menjelang Ashar

No comments:

Post a Comment