Malam itu waktu sudah menunjukkan pukul 02.30 menit lebih, jalan kian sepi. Saya pulang dengan Si Romlah, sepeda motor merk Honda Cup 70, tahun perakitan 1967. Saya tidak begitu pasti ingat asal muasal nama Romlah itu dari mana, tetapi awalnya saya ingin nama itu Ramulah. Nama yang dekat dan akrab di telinga sebagai Aceh. Lalu entah bagaimana, sebutan nama Ramulah denga tiga suku kata, jadi ribet. Jadilah Romlah [dua suku kata]. Kata teman teman, Romlah identik dengan nama orang di Pulau Jawa. Beberapa banyak dari teman teman saya sudah tau kalau motor butut saya itu bernama SiRomlah. Limabelas tahun lebih tua dari umur saya.
Kembali ke soal banjir tadi. Genangan air di jalan masuk ke kompleks rumah tergenang, awalnya saya kira tidak tinggi genangan air hujan. Saya berhentikan motor dengan posisi mesin hidup. Lalu saya terobos ke genangan air itu, baru jalan 10 meter. Romlah langsung mogok ditengah genangan air, tingginya selutut orang dewasa. Hujan kian deras. Jika busi basah, Romlah susah dihidupkan, dia ngambek. Saya akhirnya dengan segala kesal, mendorong Romlah dalam genangan air yang jaraknya 100 meter lebih, hujan kian deras dan malam kian larut, jam 3 malam.
Itu satu diantara banyak cerita mogok Romlah lainnya, saya beruntung bisa belajar banyak tentang arti kesabaran naik motor butut. Bagaimana harus lebih menghargai dirinya sebagai makhluk mati tapi hidup. Entah ada hubungannya atau tidak, Romlah seperti sesuatu yang punya jiwa. Dia seakan punya rasa terhadap sesuatu yang tidak disukai. Misalnya beberapa kali Romlah pernah mogok, atau bocor ban hanya karena sebelumnya ada wanita yang menyentuhnya. Mencoba menggodanya atau bahkan mencoba mengendarainya. Saya bahkan pernah berpikir, kalau untuk memilih istri, harus dibonceng dulu oleh Romlah. Kalau esoknya dia tidak mogok, berarti Romlah menyukai gadis itu. Eaak!
Cerita soal Romlah mogok karena 'didekati' sama wanita mungkin saja kebetulan memang dia lagi mogok. Tetapi beberapa dari teman saya pernah mengalaminya, adalah mencoba ambil foto bersama Romlah. Esoknya paginya langsung susah dihidupkan. Atau kadang bocor ban, mungkin itulah bentuk rasa dari Romlah ketika dia tidak suka pada sesuatu hal yang saya dekati.
Pernah sekali waktu pulang kuliah dulu, Romlah tiba tiba mati di tengah jembatan Lamnyong. Honda Cup 70 saya masih menggunakan sumber api menggunakan platina, masih gunakan baterai. Jadi kalau tidak ada percikan api dibusi, jangan harap dia akan hidup. Nah, cerita mogok di Jembatan Lamnyong itu, sya sudah ganti busi berkali kali, stok busi dalam 'garasi kecil' dan segala jenis kunci bongkar busi selalu harus ada. Saya ganti busi berkali kali, percikan api sangat kecil. Saya rapatkan ujung busi, Romlah tidak juga mau hidup. Saya akhirnya hilang kesabaran, lalu saya berdiri pada trotoar jembatan Lamnyong, saya katakan ke Romlah dalam bahasa Aceh: "Romlah, njang krueng that luah, lee that buya. Njoe menjo hana a tem udep keuh, ku tik lam krueng njan jeut?"
Saya kemudian tersenyum seperti orang gila, bagaimana bisa hubungan soal kita yang hidup dengan makhluk mati berbicara dan akan didengar. Hahaha. Saya istirahat sebentar, setelah ganti busi dan engkol kosong beberapa kali, dan Romlah akhirnya hidup dengan suara garang. Apakah dia mengerti perasaan saya? Wallahualam.
Hari ini Romlah telah bersama saya selama 10 tahun. Banyak cerita-cerita lucu dan konyol berjuang bersamanya dalam hidup. Teman-teman yang melihat saya di jalan, melihat Romlah saya parkir di suatu tempat, mereka sudah tau kalau keberadaan saya tidak jauh darinya.
Sore tangal 25 Desember 2004. Sehari sebelum gempabumi dan amuk air laut menghantam daratan Aceh. Saya memiliki Romlah, waktu itu saya beli dengan harga 2,3juta. Harga emas tahun 2004 itu sekitar 400 ribu/mayam. Jadi Romlah saya beli dengan mahar 5,5 mayam emas. Pagi hari Minggu kala Gempa itu, abang ipar saya yang bekerja di bengkel motor membawa Romlah ke bengkel untuk service dari beberapa lini. Saya tinggal di Darussalam waktu itu. Waktu orang orang kian ramai berlari, Romlah terpaksa ditinggalkan di depan bengkel karena tidak mau hidup waktu di engkol. Barulah pada malam harinya, dia dijemput untuk dibawa ke tempat kami menginap, di kawasan Lam Ateuk.
Hari ini, 10 tahun saya telah belajar tentang arti sabar bersama Romlah. Catatan ini mungkin berlebihan bagi kalian, tapi tidak bagi saya. Dulu Almarhum Ayah saya juga menggunakan Honda Cup 70, Ayah dulu belinya baru dari dealer, Ayah saya seorang guru SD. Sejak beliau meninggal pada tanggal 5 Maret 1999. Motor itu dijual karena sering mogok dan harus dibawa ke bengkel terus terusan. Saya padahal yang paling tidak setuju di jual. Maka ketika tahun 2004 itu, tabungan saya sejak SMP yang telah dikumpulkan saya gunakan untuk beli motor, walaupun butut dan dianggap motor buruk, itu dari hasil keringat sendiri. Halah!
Sepuluh tahun berlalu, terimakasih Romlah atas kesetiaannya. Soal orang yang akan kita bonceng nantinya, bersabarlah. Tuhan punya kuasa atas segalanya, aku akan selalu setia. Walaupun ada banyak orang orang yang mencoba merebutmu dari tanganku, menggodaku supaya engkau ku jual. Tenang, engkau tidak akan jatuh kepada tangan-tangan jahil.
No comments:
Post a Comment