KITABMAOP

Untuk Mengingat Dan Melawan Kesepian

Post Top Ad

#hastek

ESSAI (70) BERITA MEDIA (47) CATATAN HARIAN (47) GoBlog (12) PUISI (11) CERPEN (8)

08 April 2016

Budaya Mengemis


Ada hal yang sangat mengganggu setiap kali saya duduk di warung kopi, yakni kedatangan pengemis. Profesi ini benar benar sangat menggangu privasi saya. Saya yang sedang asyik mengobrol atau berdiskusi dengan teman harus berhenti sejenak saat didatangi oleh orang dengan profesi tersebut. Pernahkah menghitung berapa jumlah pengemis yang menghampiri meja warung kopi dalam satu jam? Katakanlah ada pengmis. Bayangkan, betapa mereka sangat menggangu waktu santi kita di warung kopi.

Pengemis menghampiri meja yang satu lalu meja meja lainnya. Saya sering sekali menolak memberikan uang kepada pengemis yang meminta minta di warung kopi atau di lampu merah. Pemerintah kota Banda Aceh sendiri, misalnya telah mengimbau kepada pengguna lalulintas untuk tidak memberikan uang kepada pengemis. Kalau mau menyumbang/bersedekah sebaiknya kepada tempat yang benar; masjid, baitul mal, kotak amal lembaga anak yatim atau kepada para lajang yang sedang berjuang mengumpulkan mahar demi melamar kekasih pujaan hati.


Tahukah anda berapa penghasilan pengemis sehari? Bisa jadi di atas ratusan ribu rupiah. Sebulan mereka bisa mendapat penghasilan tiga juta lebih. Melebiha gaji buruh Upah Minimum Provinsi (UMP). Rata rata kita sangat akrab dengan wajah wajah para pengemis ini. Saya pernah mengenal seorang pengemis yang sudah lama betul mengemis. Wajahnya sudah saya kenal sejak saya kuliah di Fakultas Teknik Unsyiah, tahun 2002 dan sampai sekarang dia masih mengemis juga. Mereka ini para pengemis yang sudah mengabdikan hidupnya untuk terus meminta minta kepada pengguna jalan dan pengunjung warung kopi. Dengan berbagai macam gaya dan wajah memelas, mereka meminta belas kasihan orang. Mungkin saja mereka sudah sangat terlatih. Pada bagian ini, bisa mengalahkan aktor teater dan pemain film.

Ada juga yang menggunakan modus membawa anak bayi. Yang mengherankan, selalu ada anak bayi yang mereka bawa bertukar tukar. Dari kabar beredar, anak bayi itu mereka sewa setiap hari. Bagi yang tidak membawa anak bayi, biasanya didampingi seseorang sebagai penuntun, lebih tepatnya penunjuk arah jalan. Mereka tidak jalan sendiri, melainkan diantar dengan becak. Barulah menghampiri dari satu warkop ke warkop yang lainnya. Tukang becak tentu juga akan mendapat bagian dari uang hasil pengemis itu.

Bagaimana menghentikan operasi para pengemis ini? Padahal pemerintah daerah telah membina mereka melalui dinas terkait. Imbauan kepada masyarakat agar tidak memberikan uang kepada pengemis juga sudh dilakukan. Sekarang tinggal kembali kepada semua warga untuk tidak memberikan uang kepada pengemis. Bersedekahlah pada tempat yang layak dan pantas.

Kalau kita semua sepakat untuk tidak memberikan uang kepada pengemis, maka para pengemis itu akan ‘bangkrut’ dan tidak lagi meminta minta. Sebab, penghasilan mereka menjadi minim, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Mereka akan berusaha untuk bertahan hidup dengan bekerja seperti orang lain pada umumnya.

Bagaimana dengan pengemis penyandang disabilitas? Inilah tantangan pemerintah. Melalui dinas sosial, pemerintah dapat mengumpulkan dan membina mereka dengan kegiatan wirausaha apa saja. Toh ada panti jompo dan panti asuhan yang akan membantu kehidupan mereka. Para pengemis dari kalangan disabilitas ini membutuhkan skil sebagia modal mereka untuk bisa hidup mandiri.

Saya yakin, pemerinta melalui dinas terkait sudah lelah minta ampun menangani para pengemis ini. Ditangkap, lalu dikasih pelatihan lifeskill agar mandiri, dikasih modal usaha juga sekalian, eh besoknya mereka kembali turun ke jalan untuk meminta minta. Sebab penghasilan mereka sebagai pengemis itu jauh diatas gaji para tenaga kontrak di kantor-kantor pemerintah. Satu satunya cara mengurangi pengemis itu adalah dengan tidak memberikan uang kepada mereka supaya omset mengemis mereka menurun. Mereka akan lelah dan akhirnya para pengemis akan berkurang seiring waktu, atau bisa saja tidak ada sama sekali.

Akan tepapi, akting para pengemis ini membuat kita merasa iba. Akhirnya uang seribuan berpindah ke tangan mereka. antara ikhlas dan tidak. Anehnya, di Banda Aceh pengemis tidak mau lagi menerima uang logam lima ratus rupiah. Bahkan itu dianggap sebagai bentuk hinaan.

Gejolak pengemis merupakan permasalahan sosial yang ditemui dihampir semua kota di Indonesia. Mengemis sudah menjadi budaya mereka. bahkan ada yang sudah menjadikan pengemis sebagai profesi/ di satu sisi kita memang merasa kasihan dengan nasib mereka, tetapi di sisi lain mereka sudah betah mengemis sebab lebih banyak penghasilan diperoleh dari sana dibandingkan mereka bekerja.

Memutuskan mata rantai pengemis di warung kopi dan lampu merah harus dikampanyekan kepada semua warga, yaitu dengan melarang memberikan uang kepada pengemis. Jangan sampai ketika pemerintah tidak bertanggung jawab atas nasib pengemis, lagi lagi pemerintah yang disalahkan. Padahal semua warga negera, kita perlu terlibat aktif dalam menghentikan aktivitas mereka, tentunya denagn tidak memberikan uang kepad peminta minta.

Pengemis tidak hanya terjadi dijalan dan warung kopi, di kantor kantor pemerintahan jajaran pengemis dari berbagai latar belakang mengemis ke dinas dinas dan orang tertentu. Modusnya bukan lagi sebagai uang recehan, tapi sudah pada tahan mengemis proyek atau meminta bantuan dengan colok proposal, ditambah perjanjian memberikan fee jika anggaran dicairkan. Kaum ini, lebih membahayakan dari pengemis di jalan. Jika sudah begini, siapa yang harus disalahkan?

[sumber: Tabloid Warta Unsyiah, Edisi April 2016]

1 comment: