Setiap menyebut pakar hukum Unsyiah, ingatan kita akan bersepakat pada sosok nama “Mawardi Ismail.” Saya tidak mengenal dengan baik sosok Mawardi Ismail, pakar hukum paling terkenal di Aceh. Mantan Dekan Fakuktas Hukum Unsyiah dan anggota DPRD Tk I Daerah Istimewa Aceh, era tahun 90han sampai 1999. Mawardi kalau tak salah saya jadi anggota dewan melalui Partai Golongan Karya saat itu. Saya tau tentang kesuksesannya dan keluarga besar mereka dari Alm. Ayah dan Ibu saya.
Cuma sekali bertemu Pak Mawardi secara tak kebetulan pada suatu acara. Waktu itu saya ikut salam mengikuti salaman dari peserta acara yang lain, saya ingin balik kembali untuk mengobrol dengan beliau, memperkenalkan diri. Niat itu urung, saya memilih langsung meninggalkan tempat acara.
Kampung saya dengan kampung Pak Mawardi bersebelahan. Jarak rumah saya sekitar 1 kilometer dengan rumah orang tua Pak Mawardi di Desa Tingkeum Baro, Ulee Tutu, Kutablang Bireuen.
Sewaktu saya kecil –entah adik atau abang- Pak Mawardi paling terkenal bagi kami kalangan anak anak yang ingin sunnat rasul. Pak Armiya namanya, seorang mantri (setingkat perawat?) yang bekerja di PT Arun Lhokseumawe. Tiap bulan puasa tiba, Pak Mia melakukan sunnat massal gratis bagi anak anak keluarga kurang mampu dari desa Tingkeum Baro dan sekitarnya. Di rumah orang tuanya tersebut. Saat mengadakan sunnat rasul gratis, ia pulang ke Tingkeum Baroe. Sehari hari ia berumah di Lhokseumawe karena bekerja di Arun.
Bagi yang mau sunnatan, anak anak miskin desa mendaftar melalui geuchik gampong masing masing. Langsung Pak Mia yang menangani, ia tenaga medis di PT Arun. Setiap ada sunnat anak anak dikasih sumbangan, baju koko dan satu kain sarung.
Kami 5 anak laki laki di rumah tidak satupun yang sunnat rasul dengan Pak Armia. Waled saya (panggilan untuk Ayah) beranggapan kalau keluarga kami kategori sebagai keluarga yang mampu. Waled saya seorang PNS guru SD. Kami semua sunnat rasul di mantri di kota kecamatan, Pak Ramuli Teuntra. Seorang tenaga medis yang bekerja di RS Kesrem Lhokseumawe.
Waled saya seangkatan dengan Pak Mawardi. Sewaktu sekolah di SRI (Sekolah Rendah Islam, setingkat SD/MIN) Waled saya sekelas dengan Mawardi Ismail, abang dari Pak Mia. Sampai tingkat PGA (Pendidikan Guru Agama, setingkat SMA?) Waled masih sekelas dengan Pak Mawardi, hingga sewaktu ikut penataran/pelatihan ke Banda Aceh mereka sering bersama dan tinggal serumah. Hal ini sering diceritakan Ibu. Bahkan jika di rumah ada koran dengan foto wajah Pak Mawardi, Mak saya kerap membaca dengan bangga berucap: “Nyan Pak Mawardi sigoe sikula ngon Waled.” Waled yang dimaksud Almarhum Ayah saya.
Saya tidak tau, apakah Pak Mawardi masih mengenal teman sekelasnya, M. Saleh Daud. Kerap dipanggil M.Salda sewaktu terpaksa ‘bekerja’ di kantor Camat Gandapura (Geurugok) karena Waled menolak menjadi Kepala SD. Waled saya menolak jadi kepala sekolah karena selain menjadi guru, ia juga bekerja serabutan di kampung, mengupah dan bekerja di sawah sendiri. Kalau jadi kepala sekolah, maka setiap hari harus masuk sekolah. Sedangkan jika jadi guru biasa, hanya ke sekolah pada saat jam ngajar saja. Kantor Kandep Bireuen (sebuatn untuk kantor UPTD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kala itu) memberi sanksi kepada Waled harus masuk kantor Camat 2 hari seminggu, selasa dan sabtu. Waled saya juga bergabung di Golkar, di kampung ia menjabat sebagai Ketua Golongan Karya. Tingkat kecamatan ia juga diperbantukan pada bagian sekretaris karena untuk memudahkan kerja kerja partai, di samping Waled saya punya mesin ketik milik sendiri di rumah.
Menurut cerita Mak saya, sebelum waled meninggal tahun 1999, umur saya 17 tahun kala itu. Waled pernah ke Banda Aceh menghadiri pesta Pakwa Muhyen, saudara sebelah Waled yang bekerja di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi D.I Aceh kala itu. Almarhum Pakwa Muhyen masih saudara dekat dengan kami dan satu kampung di desa Pulo Reudeup. Kalau tidak salah saya, istri Pak Muhyen ini adik kakak dengan Istri Pak Mawardi. Waled saya pernah sekali menjumpai Pak Mawardi kala itu beliua sebagai anggota DPRD Tk I D.I. Aceh, jumpa teman lama. Setelah itu, Waled tidak pernah berjumpa lagi. Sewaktu tahun 97 kala kakak saya ke Banda Aceh, ia kerap mewanti wanti untuk bersilaturahim ke rumah Pak Mawardi juga ke Rumah Pak Muhyen, demi menyambung tali saudara.
Kemarin Pak Mawardi meluncurkan buku Mawardi Ismail; Intelektual Organik. Saya tak sempat menghadiri. Buku itu berisi tentang testimoni para sahabat Pak Mawardi yang pernah berinteraksi dengan beliau. Selasa 1 Maret 2016 itu juga sebagai hari akhir beliau pensiun sebagai dosen di Unsyiah. Hari pensiun yang berkesan dengan meluncurkan buku testimoni. Satu hal yang tak banyak orang melakukan. Landing yang baik dari masa tugas sebagai dosen. Tentu selepas ini Pak Mawardi masih banyak sekali dibutuhkan oleh Aceh dan banyak orang yang meminta pendapatnya. Soal status sebagai dosen, hanya perkara adminitrasi pensiun saja.
Semalam saya membayangkan jika seandainya Waled saya masih hidup, maka mungkin saya akan ada tulisan Waled saya dalam buku testimoni para sahabat tersebut.
Selamat atas luncur bukunya Pak Mawardi, sosok yang seumateh (penurut orang tua) dan pintarnya Bapak saya kerap ketahui dari Ibu dan Waled saya. Saya tau ada 12 orang saudara Bapak jadi orang sukses dan berguna semua. Tokoh penuh inspirasi, Aceh masih sangat membutuhkan petuah petuah hukum dan kebijakan dari Pak Mawardi. Saya berharap, Pak Mawardi hanya pensiun adminitrasi saja sebagai dosen ilmu hukum.
Mohon maaf jika dalam tulisan ini ada yang kurang dan salah data, ini hanya review ingatan saya saja. Kiranya Pak Husaini Ismail selaku adik beliau bisa meluruskannya. Terimakasi Pak, mudah mudahan suatu hari nanti kita bisa bertemu Pak, jika selama ini hanya berinteraksi di fesbuk saja.
No comments:
Post a Comment