@facebook Edi Fadhil |
“Adakah yang lebih indah dari semua ini /Rumah mungil dan cerita cinta yang megah /Bermandi cahaya di padang bintang /Aku bahagia”
Itu penggalan lirik lagu Tentang Rumahku, judul sekaligus nama album perdana band yang berasal dari Bali, Dialog Dini Hari (DDH). Band indi yang dibentuk pada tahun 2008 ini beraliran lagu lagu blues tentang keresahan hati, isu sosial dan kegamangan hati sang personilnya. Saya menyukai beberapa lagu mereka karena seorang tukang memasak paling terkenal di Komunitas Kanot Bu, Tepank Fajriman sering kali memutarkan lagu lagu Dialog Dini Hari kala ia sedang memasak atau mengulek sambal Monica Belluchi, begitu nama yang Tepank tabalkan sewaktu saya mencicipinya.
Mendengar lagu Tentang Rumahku yang dinyanyikan oleh Dialog Dini Hari dengan tiga personelnya, membawa saya pada sosok Hamba Allah penyumbang tersering pada list gerakan membangun rumah kaum miskin desa. Program Rumah Harapan yang digerakkan oleh Edi Fadhil, seorang pemuda yang menggunakan media sosial fesbuk, mengumpulkan sumbangan dari orang orang yang ingin menabung untuk dunia-akhirat. Edi seorang pemuda yang sok sibuk mengurus dan membantu bangun rumah kaum miskin desa. Kasihan Edi, macam tidak ada pekerjaan lain saja yang lebih penting ia lakukan.
Sebagai pengabdi negara, dia harusnya duduk manis saja di kantor sambil apdet model jam terbaru di oldshop, menjelajah internet tentang harga tiket murah untuk liburan ke Malaysia, Singapure atau Thailand, pada akhir tahun. Atau selemah lemah bersantai maingame di ruang kerjanya. Atau paling kurang lagi haha hihi di warung kopi dengan baju dinas kebanggaan para orang tua dan mertua atau Edi bisa mikir bagaimana mengolah proposal proposal fiktif bersama organisasi abal abal untuk memperkaya diri dengan taksiran persen uang muka sekian jutaan.
Harusnya Edi duduk di kantor. Pura pura terlibat membantu orang orang berurusan dengan birokrasi dan kerjaan lain dari pimpinan sambil menunggu dan meminta jatah uang kopi. Lumayanlah untuk biaya liburan ke luarnegeri atau ke provinsi tetangga pada akhir pekan.
Dengan duduk manis di meja kantor saja, Edi tak perlu bersusah payah harus bertemu dan mengajak anak muda dan relawan lain untuk membantu pembangunan rumah yang layak, dan tentu saja pantas huni bagi penduduk miskin desa. Sunggguh, gaya hidup Edi menurut saya kurang piknik. Ia tidak belajar dari senior pengabdi lain atau sesama teman pengabdi negara yang lebih cerdas memprotes terkesan dizalimi karena pihak dinas urusan kepegawaian telat bayar gaji, menuntut kenaikan gaji. Walau sering kali mereka asyik main waifi di warung kupi. Dengan menunggu gajian tiap awal bulan, dia bisa hidup bahagia dan kaya raya bersama keluarga dan istri. Kalau sudah kaya raya, tinggal bangun mewah rumah sendiri, tinggal bersama anak istri tercinta. Ini? Halah, Edi kasihan sekali nasibnya jadi pegawai harus membantu orang orang miskin desa untuk bisa hidup dalam rumah yang layak dan pantas. Ini zaman kelezatan bakda perdamaian selepas amuk peluru dan amuk laut.
Mestinya Edi bisa duduk santai sebagai pegawai biasa sambil menerima gaji setiap bulan ditambah dengan uang sppd hasil olahan. Ngak perlu repot repot habiskan waktu dan tenaga untuk membantu warga dan anak anak yang butuh dorongan dalam bersekolah karena tidak ada biaya.
Pemuda seperti Edi, Entah apa tujuan hidupnya yang telah sukses jadi pegawai –demikian asumsi sukses bagi orang kita di Aceh-, ngapain dia menghabiskan gajinya untuk membiayai diri sendiri ke wilayah pedalaman Aceh, bertemu dan mencari keluarga miskin yang pantas dibangun rumah layak huni.
Edi entah dari mana muncul ide menggalang kekuatan menggerakkan hati manusia penderma lain untuk mau terlibat bangun rumah warga miskin desa. Bangun rumah berjamaah. Anehnya Edi tidak narsis bagikan link berita berita di status fesbuk tentang kegiatannya yang demikian banyak ditulis di media atau terekam dalam liputan reporter televisi. Tapi saya ngak habis mikir lagi, kenapa ada politisi dari lembaga negara yang memuja muji atas kinerjanya itu. Cermin mana cermin!? Apa ini sebagai alat untuk meraih simpati dari rakyat yang sudah demikian muak dan lelah atas buruknya perilaku dan perangai wakil mereka di legislatif?
Etapi ngak perlu heran dengan kondisi demikian, sudah hal lumrah dan wajar para pegiat politik di kampung kita memang begitu. Bukan tidak mungkin bulan depan akan heboh lagi dengan berita ada pejabat negara yang melaporkan rumah warga miskin harus dibangun kepada Edi Fadhil, harusnya mereka bisa lakukan sendiri toh!
Beberapa dari kalian juga lebih aneh lagi, mau usung EF dengan memasang foto dia untuk menjadi Calon Gubernur. Hei, kalian mikir bangun rumah dhuafa itu tugas pemangku pemerintah? Kalian salah besar atas itu. Warga miskin di Aceh itu salah mereka sendiri jadi miskin, harusnya mereka kerja kerja kerja, bukan mengeluh minta dikasihani sama pemerintah. Warga miskin dilarang tidur dan asyik duduk nongkrong di warung kopi kayak adek-abang peugawoe nanggroe dan tenaga kontrak yang Cuma bisa ngehe doang setiap jam kerja di warung kopi sambil main gadget, posting foto selpin ke instagram atau chek in path sedang mamam di warung kari kambing.
Ide atas kerja Edi ngak usah ditiru oleh pemerintah, sebagaimana beberapa dari kalian yang lemparkan wacana itu di media sosial atau komen di status fesbuknya. Kalian mikir pemerintah sanggup lakukan hal begitu? Ngak akan bisa terjadi keles. Itu kerja kerja bangun rumah dhuafa bukan kerjaan pemerintah, memang sudah nasibnya masyarakat kita yang miskin. Lalu apa kalian mikir ide bangun rumah ala Edi akan dilakukan oleh dedek-dedek gemes doyan selpie di luar negeri yang lagi kuliah esdua atas biaya pemerintah daerah? Ngak akan terjadi juga, mereka itu para aset bangsa Aceh dan anak terdidik nan cerdik Bahasa Inggris, yang memanfaatkan kebijakan beasiswa pemerintah di daerah untuk sekolah ke luar negeri. Apa produk karya mereka di sana kan cuma selpi-selpi kasih tampak gigi kinclong manisnya, atau paling hebat ya dimuat tulisan citizen reporter di koran cetak ternama di Aceh. Selebihnya mereka cuma bisa chek in di path lagi mamam nasi instan cepat saji di restoran megah luar negeri dan sebarkan foto dengan latar taman indah di instagram. Apa mereka ada mikir berapa ratusan juta biaya yang dikeluarkan pemerintah di Aceh untuk biaya hidup dan kuliah mereka. Apa selepas esdua mereka akan mengabdi dan atau menyisihkan gajinya untuk membantu adik-adik agar bisa sekolah, seperti yang Edi lakukan!? Lha Edi bukan penerima beasiswa pemerinta keles.
Sudah ya, saya terlalu banyak merepet. Kata kawan saya yang tidak ingin disebutkan namanya; kalau ngak bisa bantu, jangan nyusahin. Ngak usah protes sana sini dan syirik karena ngak dapat beasiswa ke luar negeri, salah sendiri dulu ngak belajar Bahasa Inggris. Bahasa yang pernah dicap bahasa kapir oleh nenek moyang kita.
Sebelum habis kalian baca tulisan sampah repetan ini, ada yang terpikir oleh saya sampai sekarang masih penasaran dengan sosok misterius yang sudah menyumbang capai ratus jutaaan via Edi Fadhil. Itu saya lihat namanya di list laporan yang ditulis Edi di laman fesbuknya. Bagi kalian yang kerap memantau status dan laporan pertanggung jawaban sumbangan masuk ke nomor rekening bank milik Edi, kalian mungkin juga akan bertanya siapa sosok penyumbang atas nama “Dini Hari?” Apa jangan jangan ada hubungannya dengan band Dialog Dini Hari yang saya kutip liriknya di atas? Toh mereka sudah menuliskan dalam bentuk lagu tentang rumah yang layak huni sebagaimana digambarkan oleh Dialog Dini Hari dalam lirik lagunya itu.
Tapi kan biasa kalau artis menyumbang ngak ada tutupi pakai nama samaran lah, pasti undang media dan diumbar besar besar saat mereka ada bantu warga miskin atau sedekah kepada anak yatim. Saya rasa personil band Dialog Dini Hari ngak ada hubungan apa apa dengan penyumbang bernama “Dini Hari.” Band Dialog Dini Hari juga ngak bakalan tau apa apa tentang gerakan rumah impian yang dilakukan oleh Edi Fadhil bersama seluruh relawan yang terlibat di dalamnya.
Menurut info intelejen jaringan kami, nama penyumbang “Dini Hari” adalah seorang warga keturunan Aceh yang telah lama bermukim di Pulau Jawa. Niatnya menyumbang dan peduli untuk membangun rumah warga miskin di Aceh, sungguh luarbiasa ikhlasnya. Padahal sosok ini bukan penerima beasiswa pemerintah. Eh. Tidak pernah sebutkan siapa sosok beliau ini. Sungguh benar benar inspirasi dan jadi cermin bagi kita yang bermukim di Aceh, punya kelebihan makanan dan rumah megah.
Sebagai perwakilan keresahan orang orang yang tak punya rumah, Band Dialog Dini Hari telah menyuarakan resah orang orang tak ada rumah dalam lirik lagu Tentang Rumahku: “Aku ingin pulang, tapi rumah entah di mana.”
Sudah ya, saya pamit. Rugi benar waktu kalian membaca tulisan sampah penuh repetan ini tak jelas tujuannya. Mending kalian yang penasaran dengan lagu Dialog Dini Hari, bisa langsung mencarinya di situs yutub. Sambil kalian mencari di mana rumah calon mertua, bagi yang masih lajang tentunya ya. Salam kupi pancong! [ sumber tulisan: aceHTrend.co / kamis, 18/02/2016]
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete