KITABMAOP

Untuk Mengingat Dan Melawan Kesepian

Post Top Ad

#hastek

ESSAI (70) BERITA MEDIA (47) CATATAN HARIAN (47) GoBlog (12) PUISI (11) CERPEN (8)

13 January 2015

Polisi Hoegeng Dan Polisi Meupep-pep

via albastari.blogspot.com

Lelucon Gus Dur paling saya  ingat tentang ada 3 polisi baik dan jujur di Indonesia: Polisi Hoegeng, Polisi Tidur, Patung Polisi. Andai Gus Dur masih hidup dan sempat ke Aceh, tentu Gus Dur juga sepakat ada satu lagi polisi baik dan jujur di Indonesia, tepatnya di Banda Aceh, Polisi Meupep-Pep. Saya kerap malu jika tak memamakai helm dan  berpapasan dengan mobil dauble-cabin Pak Adnan, sang polisi lalulintas yang dikenal polisi meupep-pep ini.

Sastrawan Hamsad Rangkuti pernah menulis cerpen lelucon soal polisi yang sampai sekarang terus saya ingat dan cukup berkesan dengan pengarang yang pernah menulis cerpen fenomenal: "Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu?" Hamsad menulis cerpen Si Lugu dan Si Malin Kundang yang dimuat di Harian KOMPAS, Si Lugu dan Si Maling Kundang  membuat saya terus mengingat cerita lelucon satir itu.

Cerpen itu dikisahkan oleh Hamsad tentang seorang tua berasal dari kampung yang mendatangi rumah anaknya yang berada pada sebuah komplek elit di ibukota. Sebagaimana tradisi orang kampung yang ke kota membawa makanan dari desa apa saja, tokoh orang tua itu ikut membawa ayam kampung untuk anak dan cucunya. Komplek itu dijaga oleh sekuriti. Sekuriti melarang orang tua yang berpenampilan kampung itu masuk ke dalam komplek mewah tersebut. Adegan larangan itu menarik perhatian seorang polisi lalulintas yang melintas di kawasan itu.

Polantas  menembak ayam si Pak Tua karena dianggap sebagai pembawa virus penyakit. Pak Tua marah bukan kepalang. Kedua aparat keamanan itu tetap melarang Pak Tua untuk masuk komplek, ia masih ngotot kalau anak lelakinya adalah pemilik salah satu rumah mewah dan tinggal di komplek itu. Pak Tua dalam hatinya mengutuk polantas ini menjadi batu karena telah menembak mati ayamnya. Dia teringat akan Malin Kundang yang dikutuk jadi batu.

Saat Pak Tua masih memprotes atas larang itu, tiba-tiba sebuah mobil mewah datang di pintu gerbang dan ingin masuk dalam komplek. Ternyata itu mobil mewah anak lelaki Pak Tua bersama istrinya. Sang anak memanggil Ayahnya itu dengan gembira, anaknya lalu turun, membuka pintu depan mobil lalu menyuruh sang ayah masuk. Ayahnya duduk paling depan, istrinya ke bekalang. Adegan itu membuat sekuriti dan polantas terheran-heran.

Lalu pada suatu sore hujan deras, sang anak mengajak Ayahnya jalan-jalan kota. Hujan kian lebat sore itu. Pada sebuah lampu merah ada patung polisi dengan gaya seperti orang mengatur lalulintas. Istrinya menyuruh menerobos lampu merah itu, tapi suaminya ngotot tidak mau melanggar. Ayahnya duduk dalam mobil terheran melihat ke patung polisi itu sambil berucap dalam hatinya: Ya Allah, Polisi Itu Menjadi Batu. Pak tua menganggap doanya terkabulkan, dia beranggapan polantas yang menembak ayamnya kemarin telah benar benar terkutuk jadi batu. Padahal itu memang patung polisi.

Maka setiap ada kasus-kasus tentang polisi di Indonesia, lelucon Gus Dur soal polisi jujur itu akan tetap pada 3 orang yang saya sebutkan di atas tadi. Ketika hari ini berita tentang Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri yang akan diangkat oleh Presiden Jokowi, kita kerap jadi mengingat kembali tentang para polisi.

Dan berita tidak kalah hebohnya lagi tentang penetapan Calon Kapolri itu ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena dugaan kasus korupsi. KPK tentu tidak bisa sembarang menetapkan pejabat sebagai tersangka. Butuh alat bukti sebagai data dan fakta atas itu.

Beberapa hari ini ketika kontroversi atas usulan Budi Gunawan[BG] sebagai calon tunggal Kapolri yang diangkat oleh Jokowi dan hari KPK menetapkan Budi Gunawan itu sebagai tersangka.  Jokowi kembali mendapat sorotan publik atas usung calon tunggal itu. Saya juga jadi berpikir, adakah calon kapolri lain yang memag bersih rekam jejaknya selama menjabat jabatan penting dalam tubuh Polri?

Sudah jadi rahasia umum, kalau elit-elit polisi yang kaya berlimpah harga karena didapatkan dengan posisi jabatan yang menurut kita bentuk tidak wajar. Kita tentu tidak ingin, ada kemudian pengarang atau warga negara Indonesia yang  mengutuk  kapolri menjadi batu karena bersikap tidak jujur dan semena-mena atas jabatannya, sebagaimana sinopsis cerpen tokoh Paktua dalam karya Hamsad Rangkuti yang saya sebutkan tadi. []


No comments:

Post a Comment