via albastari.blogspot.com |
Lelucon Gus Dur paling saya ingat
tentang ada 3 polisi baik dan jujur di Indonesia: Polisi Hoegeng, Polisi Tidur,
Patung Polisi. Andai Gus Dur masih hidup dan sempat ke Aceh, tentu Gus Dur juga
sepakat ada satu lagi polisi baik dan jujur di Indonesia, tepatnya di Banda Aceh,
Polisi Meupep-Pep. Saya kerap malu jika tak memamakai helm dan berpapasan dengan mobil dauble-cabin Pak Adnan,
sang polisi lalulintas yang dikenal polisi meupep-pep ini.
Sastrawan Hamsad
Rangkuti pernah menulis cerpen lelucon soal polisi yang sampai sekarang terus
saya ingat dan cukup berkesan dengan pengarang yang pernah menulis cerpen fenomenal:
"Maukah kau menghapus bekas bibirnya dibibirku dengan bibirmu?" Hamsad
menulis cerpen Si Lugu dan Si Malin Kundang yang dimuat di Harian KOMPAS, Si Lugu dan Si Maling Kundang membuat
saya terus mengingat cerita lelucon satir itu.
Cerpen itu
dikisahkan oleh Hamsad tentang seorang tua berasal dari kampung yang mendatangi
rumah anaknya yang berada pada sebuah komplek elit di ibukota. Sebagaimana
tradisi orang kampung yang ke kota membawa makanan dari desa apa saja, tokoh
orang tua itu ikut membawa ayam kampung untuk anak dan cucunya. Komplek itu
dijaga oleh sekuriti. Sekuriti melarang orang tua yang berpenampilan kampung
itu masuk ke dalam komplek mewah tersebut. Adegan larangan itu menarik
perhatian seorang polisi lalulintas yang melintas di kawasan itu.
Polantas menembak ayam si Pak Tua karena dianggap
sebagai pembawa virus penyakit. Pak Tua marah bukan kepalang. Kedua aparat
keamanan itu tetap melarang Pak Tua untuk masuk komplek, ia masih ngotot kalau
anak lelakinya adalah pemilik salah satu rumah mewah dan tinggal di komplek
itu. Pak Tua dalam hatinya mengutuk polantas ini menjadi batu karena telah
menembak mati ayamnya. Dia teringat akan Malin Kundang yang dikutuk jadi batu.
Saat Pak Tua masih
memprotes atas larang itu, tiba-tiba sebuah mobil mewah datang di pintu gerbang
dan ingin masuk dalam komplek. Ternyata itu mobil mewah anak lelaki Pak Tua bersama
istrinya. Sang anak memanggil Ayahnya itu dengan gembira, anaknya lalu turun,
membuka pintu depan mobil lalu menyuruh sang ayah masuk. Ayahnya duduk paling
depan, istrinya ke bekalang. Adegan itu membuat sekuriti dan polantas
terheran-heran.
Lalu pada suatu
sore hujan deras, sang anak mengajak Ayahnya jalan-jalan kota. Hujan kian lebat
sore itu. Pada sebuah lampu merah ada patung polisi dengan gaya seperti orang
mengatur lalulintas. Istrinya menyuruh menerobos lampu merah itu, tapi suaminya
ngotot tidak mau melanggar. Ayahnya duduk dalam mobil terheran melihat ke
patung polisi itu sambil berucap dalam hatinya: Ya Allah, Polisi Itu Menjadi
Batu. Pak tua menganggap doanya terkabulkan, dia beranggapan polantas yang
menembak ayamnya kemarin telah benar benar terkutuk jadi batu. Padahal itu
memang patung polisi.
Maka setiap ada
kasus-kasus tentang polisi di Indonesia, lelucon Gus Dur soal polisi jujur itu
akan tetap pada 3 orang yang saya sebutkan di atas tadi. Ketika hari ini berita
tentang Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri yang akan diangkat oleh
Presiden Jokowi, kita kerap jadi mengingat kembali tentang para polisi.
Dan berita tidak
kalah hebohnya lagi tentang penetapan Calon Kapolri itu ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK karena dugaan kasus korupsi. KPK tentu tidak bisa sembarang
menetapkan pejabat sebagai tersangka. Butuh alat bukti sebagai data dan fakta
atas itu.
Beberapa hari ini
ketika kontroversi atas usulan Budi Gunawan[BG] sebagai calon tunggal Kapolri
yang diangkat oleh Jokowi dan hari KPK menetapkan Budi Gunawan itu sebagai
tersangka. Jokowi kembali mendapat sorotan publik atas usung calon
tunggal itu. Saya juga jadi berpikir, adakah calon kapolri lain yang memag
bersih rekam jejaknya selama menjabat jabatan penting dalam tubuh Polri?
Sudah jadi rahasia
umum, kalau elit-elit polisi yang kaya berlimpah harga karena didapatkan dengan
posisi jabatan yang menurut kita bentuk tidak wajar. Kita tentu tidak ingin,
ada kemudian pengarang atau warga negara Indonesia yang mengutuk
kapolri menjadi batu karena bersikap tidak jujur dan semena-mena atas
jabatannya, sebagaimana sinopsis cerpen tokoh Paktua dalam karya Hamsad
Rangkuti yang saya sebutkan tadi. []
No comments:
Post a Comment