gambar diambil disini : www.npr.org |
Dimuatnya cerpen yang mengisahkan tentang turunnya Nabi Muhammad ke bumi bersama Jibril yang menyamar sebagai elang. Dialog-dialog satir kemudian hadir dan membuat kita sebagai pembaca mengernyitkan dahi. Kontroversi cerpen itu masih dibahas sampai sekarang dalam ranah sastra di Indonesia. Orang orang saling berargumen tentang makna kebebasan berkarya dan bebas berimajinasi.
Orang-orang saling bikin lelucon satir dengan berkarya. Mengolok-olok isu agama jadi sebuah hal yang mengundang kontroversi. Lelucon satir yang menggugah senyum bagi siapa yang membaca atau melihatnya, isu tentang agama jadi produk paling sensitif akan aksi dari publik luas. Selebihnya akan menghina dan mendamprat karya itu sebagai bagian dari kontra atas kebebasan berbicara yang tidak beretika, menurut arti dan makna berekpresi secara beradab.
Pada dunia sastra internasional yang cukup mendunia, sastrawan Salman Rusdie juga tak kalah kontroveri atas karya novel Ayat Ayat Setan, terbit tahun 1988. Novel itu dilarang beredar karena dianggap menghujat Nabi Muhammad. Bahkan pemimpin Iran kala itu mengumumkan perintah pembunuhan atas Salman Rusdie.
Hari ini, orang-orang berkarya satir kembali terjadi setelah penyerangan oleh dua pria misterius ke kantor majalah Charlie Hebdo. Majalah mingguan di Prancis itu terbit pertama sejak 1969 dengan nama asal Hara-Kiri. Hara-Kiri sempat bubur, beberapa staf redaksinya itulah yang kemudian mendirikan Majalah Charlie Hebdo. Majalah itu sejak terbit memang sudah mendulang kontroversi dengan lelucon satirnya yang menyeleneh. Charlie Hebdo pernah mengolok-olok ummat muslim dengan mengganti nama jadi La Charia Hebdo [Hebdo Syariah], pada jajaran redaksi edisi itu muncul nama Nabi Muhammad sebagai Pimpinan Redaksi.
Sebagai muslim, tentu kita berang dan mengutuk karya media yang mengatasnamakan kebebasan berekpresi. Atas terbitnya edisi itu, kantor Charlie Hebdo mendapat serangan bom molotov dari orang tak dikenal [OTK] Majalah Charie Hebdo berhaluan politik kiri ini paling sering mengeluarkan gambar kartun yang menyindir para pemuka agama, hal paling sering mereka sindir adalah tentang islam. Paus Benediktus juga pernah disindir soal kebijakannya.
Sejumlah kritikan satir lelucon tak lucu itu akhirnya mendapat ganjalan yang tidak kita inginkan tentunya. Rabu 7 Januari 2014 menurut kabar berita dari media, kantor redaksi Charlie Hebdo di Paris diserang oleh dua pria bersenjata Ak-47 yang langsung masuk ke kantor redaksi. 12 orang tewas dalam serangan itu. Pimpinan Redaksinya, Stephane Charbonnier ikut tewas dari serangan kedua pasca serangan bom molotov 2011 lalu. Charbonnier telah lima tahun menjadi Pimred, sejak 2009.
Situs berita BBC Indonesia menyebutkan bahwa Chalie Hebdo merupakan produk tradisi lama dalam jurnalisme Prancis. Tradisi humor provokatif dan cenderung cabul. Selain olok-olok tentang Muhammad, Charlie Hebdo juga membikin kartun/ilustrasi biarawati sedang bermasturbasi dan Paus yang memakai kondom.
Menurut Rusdi Mathari, wartawan senior yang saya kutip dari rusdimathari.wordpres.com, serangan 7 Januari lalu diduga ada hubungannya dengan gambar kartun Abu Bakr Al-Baghdadi yang disebarkan melalui akun twitter resmi Majalah Charlie Hebdo, @Charlie_Hebdo_. Sebagai mana kita ketahui, Abu Bakr adalah pemimpin negara islam Irak dan Syuriah [ISIS].
Orang-orang bagian redaksi Charlie Hebdo beranggapan, kebebasan berkarya dan berekpresi bisa melewati batas-batas norma apa saja. Mengolok-olok pemuka agama sebagai alat kritik mereka dalam balutan jurnalistik.
Saya sepakat soal kebebasan berekpresi dan berkarya, tetapi tanpa mengabaikan norma-norma agama dan batas rasa sosial bermasyarakat. Tokoh dunia kemudian mengecam brutal itu. Ini hal paling menjengkelkan sebenarnya atas reaksi berlebihan dari para tokoh dunia. Di Prancis ada sekitar 5-10 persen penduduk muslim yang kini hidupnya sedang dalam ancaman orang orang yang menganggap akan ada serangan balasan terhadap ummat islam.
Kita tentu berharap, kejadian itu tidak menutup mata para pemimpin seluruh dunia untuk terlalu berlebihan mengutuk kejadian itu. Ingat, ummat islam juga tak kalah sedikit meninggal di Palestina karena serangan dari pihak yang tidak ingin islam itu tumbuh dan berkembang.
Media-media seluruh dunia khususnya di Indonesia dapat mengambil hikmah atas kejadian itu. Termasuk dalam produk karya sastra atau seni yang lainnya. Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung juga bisa dijadikan ukuran, kalau ingin berkarya dalam kebebasan tentu saja tidak ada masalah selama itu tidak melanggar norma agama dan menyinggung agama-agama ummat manusia.
Apapun ideologi politik/agama mereka para pengarang karya sastra dan jurnalistik mesti memahami kondisi ini dengan benar. Sebagaimana pesan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdhatul Ulama, H Marsudi Syuhud kepada harian Republika, jangan sampai kebebasan jadi keblabasan dan memicu sikap intoleransi. Semestinya kedamaian seluruh ummat untuk bisa hidup berdampingan saling menghormati sesama, demi mewujudkan perdamaian dunia.
[nb: tulisan ini ditulis pada 15 Januari 2015 telah dikirim ke salah satu media nasional dan tidak dimuat]
No comments:
Post a Comment