Aceh, kampung paling ujung dari Pulau Sumatera bagian barat Indonesia. Menyebut kata “Aceh” bagi kalian akan mengingat banyak hal terkait dengannya. Gempabumi dan gelombang tsunami adalah khas paling nyata dari Aceh yang pernah kalian ketahui pasca kejadian amuk air laut, 26 Desember 2004 sepuluh tahun yang lalu.
Baru baru ini Aceh dikenal istilah 3G bagi orang luar: Ganja, Gempa, Giok. Iya batu giok merupakan harta benda paling laris manis dan dicari di seluruh Indonesia. Tetapi kepopuleran giok tidak dapat mengalahkan popularitas Raffi-Gita kawinan. Sedangkan ganja, tentu kalian dari non-Aceh paling suka bertanya atau meminta rempah-rempah itu dari sini, yang terkenal akan lazit dan nikmat melayang luarbiasa. Taukah bahwa ganja itu sebagai obat penenang kala putus cinta paling mujarab dan mudah didapatkan di sini.
Saya pernah sekali waktu SMA ke kebun ganja yang luasnya 5 kali lapangan sepakbola. Menikmati pemandangan yang tidak dapat dilupakan seumur hidup. Menghisab ganja di Aceh seperti kalian meminum wine atau minum air keras oplosan. Barang haram itu begitu mudah didapatkan di sini. Ngak percaya? Datanglah sekali kemari, saya akan ajak serta ke kebunnya.
Aceh juga tak kalah terkenal dengan kopi, warung-warung kopi disni lebih banyak dibandingkan jumlah mall di kota-kota Jakarta. Kami setiap hari duduk di warung kopi, bahkan sehari bisa mencapai 4 tempat pindah-pindah warung kopi. Klaim watak pemalas dari kalian tentu saja ada, sebagaimana itu pernah dikritik oleh Susi Pudjiastuti Menteri Pengembom kapal ikan pada sebuah acara talkshow salah satu televisi nasional, 19 Desember lalu. Susi sang Menteri sebutkan bahwa: “kalau kita minum kopi sehari 3 jam, mungkin bisa dikurangi 1 jam saja. Yang 2 jam dipakai untuk bekerja”
Susi tidak pernah survey jika waktu yang lama minum kopi sebagai mana tradisi orang Aceh digunakan untuk hal-hal yang positif. Hal-hal semisal kerja-kerja politik, kerja design dan berbicara program apa saja paling banyak di warkop. Dan, pengunjung warkop yang duduk lama-lama itu biasanya berstatus jomblo, sebab kalau yang pacaran pasti bakal memilih kafe-kafe yang gelap-gemerlap. Di Aceh juga ada kok, cafe remang-remang.
Malam kemarin adalah tahun baru. Tidak ada perayaan tahun baru di kota syariat ini, sebagaimana lazim kalian yang lakukan setiap pergantian tahun baru. Melewati malam tahun baru bersama pacar kaian atau pacar orang lain. Kota Banda Aceh dilarang perayaan tahun baru, sesuai dengan instruksi pemeritah kota beserta krunya untuk menjaga supaya tidak terjadi hal-hal yang melanggar syariat. Maka jangan heran, kalau oplah penjualan kondom di Aceh pada malam tahun baru tidak meninggkat sebagaimana di tempat kalian di luar Aceh.
Ohya, kampung kami juga dilarang zikir, tausyiah atau perayaan dalam mengenang tahun baru. Hal hal pengumpulan massa dilarang dan tidak boleh dilakukan. Jelang jam 00.00 kemarin juga terjadi siaga para anggota polisi syariat di sudut-sudut kota untuk mencegah jika sewaktu waktu ada warga yang membakar mercon atau membakar kembang api. Sebab menurut kaum cerdik pandai pemimpin kota kami, anggap perayaan sambut tahun baru itu bukan budaya sebagai islam.
Maka kami yang muda-mudi ini juga ramai tidak sepakat dengan larang itu. Larangan soal perayaan tahun baru itu dianggap sebagai cela dan perbuatan paling jahat. Tentu saja kekhawatiran pemkot itu bikin kami cuma bisa merepet di media sosial, jika kurang ajar melawan: maka siap-siap saja dituduh anti syariat.
Huft. Larang itu bikin kami sebentar melupakan tentang hal hal jalan yang berlubang di sudut-simpang kota. Kami jadi lupa tentang air PDAM yang macet, tentang listrik sering mati. Tentang lahan parkir yang jarang ditertibkan oleh pemerintah kota. Kami jadi melupakan tentang lampu jalan yang tidak berfungsi, tentang jalan yang kerap tergenang air kala hujan dan segala banyak jenis pelayanan untuk publik lainnya.
Ahai, mana lebih hebat kampung kalian dengan tempat kami. Kami disini tidak ada bioskop, beberapa dari kami pernah melakukan serangkaian lobi-lobi gaib supaya bisa ada sebuah bioskop di kota syariat ini. Tapi lagi lagi itu dituduh bakal terjadi sebagai tempat mesum bagi kaum yang sedang pacaran.
Maka saya sejak lama memilih jomblo bukan karena tidak mendapatkan pacar atau tidak ada wanita yang sanggup saya goda bin gombal agar jatuh hati pada saya. Bukan itu. Tapi saya memilih jomblo karena ingin mengurangi tugas-tugas polisi syariat agar mengurangi tugas mereka dalam melakukan razia. Itu saja sih! [warkop BJ, 1 januari 2015]
Aceh juga tak kalah terkenal dengan kopi, warung-warung kopi disni lebih banyak dibandingkan jumlah mall di kota-kota Jakarta. Kami setiap hari duduk di warung kopi, bahkan sehari bisa mencapai 4 tempat pindah-pindah warung kopi. Klaim watak pemalas dari kalian tentu saja ada, sebagaimana itu pernah dikritik oleh Susi Pudjiastuti Menteri Pengembom kapal ikan pada sebuah acara talkshow salah satu televisi nasional, 19 Desember lalu. Susi sang Menteri sebutkan bahwa: “kalau kita minum kopi sehari 3 jam, mungkin bisa dikurangi 1 jam saja. Yang 2 jam dipakai untuk bekerja”
Susi tidak pernah survey jika waktu yang lama minum kopi sebagai mana tradisi orang Aceh digunakan untuk hal-hal yang positif. Hal-hal semisal kerja-kerja politik, kerja design dan berbicara program apa saja paling banyak di warkop. Dan, pengunjung warkop yang duduk lama-lama itu biasanya berstatus jomblo, sebab kalau yang pacaran pasti bakal memilih kafe-kafe yang gelap-gemerlap. Di Aceh juga ada kok, cafe remang-remang.
Malam kemarin adalah tahun baru. Tidak ada perayaan tahun baru di kota syariat ini, sebagaimana lazim kalian yang lakukan setiap pergantian tahun baru. Melewati malam tahun baru bersama pacar kaian atau pacar orang lain. Kota Banda Aceh dilarang perayaan tahun baru, sesuai dengan instruksi pemeritah kota beserta krunya untuk menjaga supaya tidak terjadi hal-hal yang melanggar syariat. Maka jangan heran, kalau oplah penjualan kondom di Aceh pada malam tahun baru tidak meninggkat sebagaimana di tempat kalian di luar Aceh.
Ohya, kampung kami juga dilarang zikir, tausyiah atau perayaan dalam mengenang tahun baru. Hal hal pengumpulan massa dilarang dan tidak boleh dilakukan. Jelang jam 00.00 kemarin juga terjadi siaga para anggota polisi syariat di sudut-sudut kota untuk mencegah jika sewaktu waktu ada warga yang membakar mercon atau membakar kembang api. Sebab menurut kaum cerdik pandai pemimpin kota kami, anggap perayaan sambut tahun baru itu bukan budaya sebagai islam.
Maka kami yang muda-mudi ini juga ramai tidak sepakat dengan larang itu. Larangan soal perayaan tahun baru itu dianggap sebagai cela dan perbuatan paling jahat. Tentu saja kekhawatiran pemkot itu bikin kami cuma bisa merepet di media sosial, jika kurang ajar melawan: maka siap-siap saja dituduh anti syariat.
Huft. Larang itu bikin kami sebentar melupakan tentang hal hal jalan yang berlubang di sudut-simpang kota. Kami jadi lupa tentang air PDAM yang macet, tentang listrik sering mati. Tentang lahan parkir yang jarang ditertibkan oleh pemerintah kota. Kami jadi melupakan tentang lampu jalan yang tidak berfungsi, tentang jalan yang kerap tergenang air kala hujan dan segala banyak jenis pelayanan untuk publik lainnya.
Ahai, mana lebih hebat kampung kalian dengan tempat kami. Kami disini tidak ada bioskop, beberapa dari kami pernah melakukan serangkaian lobi-lobi gaib supaya bisa ada sebuah bioskop di kota syariat ini. Tapi lagi lagi itu dituduh bakal terjadi sebagai tempat mesum bagi kaum yang sedang pacaran.
Maka saya sejak lama memilih jomblo bukan karena tidak mendapatkan pacar atau tidak ada wanita yang sanggup saya goda bin gombal agar jatuh hati pada saya. Bukan itu. Tapi saya memilih jomblo karena ingin mengurangi tugas-tugas polisi syariat agar mengurangi tugas mereka dalam melakukan razia. Itu saja sih! [warkop BJ, 1 januari 2015]
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete