ilustrasi | ist |
MINGGU tanggal duapuluh Februari dua ribu sebelas adalah hari yang bahagia bagi sebagian orang dan hari paling mengecewakan bagi banyak orang di Aceh. Betapa tidak, pada hari itu pengumuman Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dikeluarkan. Yang lulus dan menjadi abdi negara dengan rasa haru bahagia akan senantiasa bersyukur dengan segala rahmat ilahi rabbi. Sedangkan yang tidak (belum) lulus dengan rasa kecewa mendalam harus menerima keadaan yang sebenarnya terjadi karena tidak diterima.
Lalu berbagai sampah serapah akan dilumatkan pada indikasi dengan banyaknya kolusi yang terjadi pada panitia penerimaan CPNS. Ini wajar saja memang, karena kasus di Pidie Jaya, dua kerabat dekat Wakil Bupati setempat lulus di kabupaten yang baru bermekar itu. Seorang putra Wakil Bupati Pijay lulus dan seorang lagi sebagai keponakan sang Wabup. Maka wajar saja masyarakat menuduh ada ‘permainan’ terhadap kelulusan anak dan keponakannya. Siapa berani jamin itu tidak ada unsur nepotisme?
Ada banyak yang kecewa dan sedikit yang bahagia. Mengingat pertarungan memperebutkan Nomor Induk Pegawai (NIP) memang susah bin sulit. Semua orang akan mengantri untuk bisa mendapatkan status pekerjaan sebagai peugawe nanggroe. Mengingat masa depan yang cerah terjamin seratus persen. Apalagi bagi pria lajang, kalau dia menyandang status PNS, maka cara meruntuhkan hati calon mertua akan sangat jitu. Tidaklah menjadi hal yang aneh di Aceh ketika menjadi kebanggaan calon mertua jika menantunya berstatus pegawai negeri. Ada sebuah kebanggaan tersendiri memang. Ada juga yang bernazar jika diterima akan potong kambing khanduri untuk anak yatim.
Di kampung saya bahkan ada seorang perempuan yang suaminya seorang pegawai dan mengharapkan anaknya yang tak seberapa cantik itu untuk mendapatkan suami yang PNS. “Adak peusuruh bak rumoh sikula pih jeut, asai ka peugawe,” begitu kurang lebih harapannya.
Untuk pemuda lajang yang tidak lulus PNS pada tahun ini akan kap igoe dengan kesedihan mendalam karena hana jadeh meukawen tahun ini. Sedangkan yang lulus tentu bahagia tiada duanya. Ini wajar terjadi memang, karena seorang pemuda lajang di Aceh harus bontang-banting tulang bekerja untuk membeli mahar yang begitu tinggi ketika akan melamar darabaroe. Seorang teman saya ngopi di sebuah warkop di kawasan Darussalam bahkan menyebut; “jodoh pemuda Aceh itu di tangan WH!” dan yang terjadi memang benar demikian. Untung ada ditangkap WH lalu dinikahkan, dan bayar jeulamee pun tak tinggi-tinggi kali lah. Sebab semua dalam kondisi darurat. Ha-ha-ha.
Penerimaan CPNS setiap tahun memang meninggalkan masalah. Kabar radio meuigo yang terdengar untuk yang lulus menyogok, bursa untuk mendapat sebuah NIP untuk tingkat sarjana berkisar antara 80 sampai dengan 100 juta. Sebuah angka yang fantastis, jika dikaitkan dengan gaji yang didapat sebulan rata-rata Rp1,8 juta, maka selama 4-5 tahun baru balik modal. Siapa yang tidak mau? Ada juga yang menjual sawah dan kebun untuk meluluskan anaknya mendapatkan status sebagai CPNS. Huff. Ini negeri orang dikuasai oleh penguasa. Kelulusan orang-orang yang dekat dengan pemerintah memang tidak dapat dipungkiri, sangat lazim terjadi, kita harus memahami kondisi seperti ini, dari zaman Soeharto hingga Esbeye tak berubah.
Untuk para sarjana lajang janganlah pesimis, mencari pekerjaan tak semestinya harus menjadi PNS. Lihatlah di pasar Peunayong, betapa banyak kebutuhan empat sehat lima sempurna yang tak pernah cukup dibutuhkan. Setiap orang membutuhkan bahan pokok. Terserah bagaimana kita mengambil peran sebagai pembeli bahan pokok itu atau menjadi penjual dengan mendapatkan penghasilan melebihi seorang pegawai pemerintah. Pegawai itu kalau tak pintar memanipulasi bon atau korup tak bakalan jadi kaya; menjo hana jiolah hana meujan ek jipeugot rumoh. Homlah! [Kolom Cang Panah, Harian Aceh Februari 2011]
No comments:
Post a Comment