ESSAY | Muhadzdzier M. Salda, Juru Bicara Kaukus Jomblo Pembela Syariat, Ketua Dewan Syuro Persatuan Lajang Minoritas (PELAMIN)
Sejak JKA (Jaminan Kesehatan Aceh) dicetuskan pada masa Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan disetujui oleh DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) pada Juni 2010, inilah program andalan paling bergengsi dari Pemerintah Aceh kala itu. JKA mendapat posisi paling utama diantara program-program masa Irwandi-Nazar yang menjabat masa periode 2007-2012.
Sekitar 5 juta jiwa lebih penduduk Aceh dapat merasakan efek yang cukup luar biasa dari JKA ini. Dana yang dianggarkan untuk program ini juga tidak tanggung tanggung yang mencapai ratusan miliaran rupiah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) setiap tahunnnya. Lalu, bisakah jika Pemerintah Aceh sekarang dibawah Gubernur dr. Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf mencetuskan program Jaminan Mahar Aceh (JMA) bagi pemuda lajang Aceh yang ingin menikah?
Saya memang tidak menemukan jumlah angka yang pasti berapa ratusan ribu para pemuda lajang Aceh yang tidak bisa menikah karena persoalan biaya untuk mahar yang tinggi. Mahar (jeulame) dalam adat turun temurun masyarakat Aceh dikenal lumayan berat bagi jomblo-jomblo alias lajang di Aceh yang ingin menikah. Sebagaimana yang telah kita tahu bersama bahwa untuk dapat menikah di Aceh, seorang lelaki lajang harus membawa mahar berupa emas walau sebenarnya dalam islam tidak disebutkan jenis mahar adalah emas. Yang ditentukan adalah sebuah barang berharga dan barangkali alasan itulah maka emas disepakati sebagai mahar yang “wajib” untuk dipenuhi sebagai syarat untuk bisa menikah. Rata rata bagi pemuda lajang yang ingin menikah di Aceh harus terlebih dahulu menyiapkan emas dengan jumlah yang fantastis untuk “membeli” seorang gadis.
Rata-rata yang terjadi di Aceh, untuk melamar seorang gadis, seorang lelaki harus menyiapkan mahar mencapai angka 10 sampai 20 mayam plus isi kamar dan asoe talam segala perangkat pakaian untuk si calon mempelai wanita. Bahkan ini juga sangat tergantung kepada profesi si perempuan itu sendiri, misalnya dia sudah jadi pengawai pemerintah, dokter, guru dan segala profesi yang terpandang lainya. Besarnya sangat tergantung kepada profesi dimaksud untuk menunjang gaya hidup. Inilah adat dan budaya salah kaprah berada diatas aturan yang telah ditetapkan agama.
Hari ini, harga rata rata emas yang terus melonjak naik. Harga emas di pasar saat ini mencapai 1,8 juta per mayam lebih, maka paling tidak seorang lelaki harus menyediakan uang lebih kurang 40 juta lebih sebagai kebutuhan untuk segala kegiatan pernikahan dan pesta tetek-bengek ini itu. Wow! Bayangkan bila dipakai untuk membeli kopi? Bisa untuk minum satu kotamadya Banda Aceh.
Nah, satu sisi penentuan mahar yang sudah menjadi semacam adat dalam proses meminang gadis di Aceh. Pemuda lajang dari luar Aceh yang ingin meminang gadis Aceh harus mikir duakali. Seorang teman dari Pulau Jawa pernah celoteh kepada saya; “ditempat kami, uang satu juta bisa menikah!”
Tidak ada yang salah memang dalam hal menjaga adat dan budaya ini. Bukankah adat budaya juga tercipta dalam masyarakat secara turun temurun dan itu bisa saja diubah secara perlahan-lahan. Jeulame melamar gadis Aceh memang cukup memberatkan bagi lajang yang tidak ada pekerjaan, sedangkan keinginan untuk menikah cukup tinggi di Aceh. Saya pernah menemukan seorang teman yang telah melakukan hubungan intim dengan pacarnya karena memang kebelet pada persoalan ‘arus bawah’ yang belum sanggup dia ‘halalkan’ di depan penghulu.
Adat mahar tinggi, dari satu segi menandakan bahwa gadis gadis di Aceh itu sebagai sebuah hal yang benar benar dihargai. Tapi segi yang lain juga mesti dilihat jika ini sangat memberatkan bagi pihak laki laki, apalagi dengan harga emas yang semakin hari semakin naik. Sebuah guyonan lawak yang beredar dari warung kopi sesama anak muda lajang menyebutkan bahwa jodoh pemuda lajang di Aceh itu ditangan WH. Jika tertangkap WH biasanya pihak lelaki tidak perlu membayar mahal setinggi yang telah disebutkan di atas tadi. Cukup sebagai syarat rukun nikah saja. Paling-paling dua mayam. Menikahnya di kantor WH karena tertangkap mesum.
Lalu adakah yang salah dalam hal ini, dimana adat yang berlangsung begitu lama di Aceh? Majelas Adat Aceh (MAA) sebagai lembaga yang menjaga dan mengatur adat di Aceh perlu duduk berembuk membahas persoalan ini. Mesti ada Musyawarah Tokoh Adat seluruh daerah di Aceh untuk menemukan titik terang soal mahar di Aceh. Atau sudi kiranya DPRA perlu bikin semacam Qanun Mahar yang mengatur tentang adat mahar ini. Adat kita jaga, lelaki lajang juga perlu dipandang juga. DPRA dan Pemerintah Aceh semestinya perlu membuat kebijakan khusus tentang mahar di Aceh, boleh juga semisal mengeluarkan Qanun tentang mahar di Aceh, jangan hanya ribut soal Qanun pilkada saja yang tentu mementingkan kepentingan perut para penguasa, bagi kami yang masih lajang di Aceh, persoalan di bawah perut juga mesti dipikirkan oleh pemerintah.
Jika saja program Jaminan Kesehatan Aceh sukses bisa dilakukan di Aceh. Bagaimana jika seandainya juga pemerintah Aceh melakukan program Jaminan Mahar Aceh (JMA) di pemerintahan Zaini-Muzakkir. Saya mengusulkan tidak serta merta pihak pemerintah menanggung semua mahar kepada pemuda Aceh yang ingin menikah, karena memang jenis dan takaran mahar di Aceh berbeda beda juga dalam lamarannya. Sangat tergantung kepada profesi si gadis yang dilamar di tiap daerah juga berbeda. Biasanya jika si gadis adalah anak orang kaya dan terpandang, maka mahar akan begitu tinggi patokannya, satu lagi jika si gadis seorang wanita karir dengan profesi yang menyakinkan apalagi sudah menjadi PNS. Maka pihak lelaki siap-siap saja menghabiskan uang puluhan juta hanya untuk sebuah niat yang mulia, padahal mereka sudah saling cinta-mencintai. Kan menikah untuk menyempurnakan setengah agama. Untuk menjaga pandang agar tidak jadi fitnah, daripada mereka pacaran dan berbuat macam-macam hingga terjerumus ke dosa.
Peran Orang Tua
Para orang tua juga mesti tau bahwa menikah itu adalah ibadah, dan jangan karena menentukan mahar yang tinggi, bisa-bisa anak perempuannya jadi tua tidak kawin kawin. Ini bahaya dan mesti dipikirkan oleh semua orang tua yang sudah punya anak gadisnya yang siap menikah.
Jaminan Mahar Aceh tidaklah sepenuhnya menjadi tanggungan pemerintah Aceh, program ini bisa disama ratakan dalam pengeluaran bantuan kepada lelaki lajang yang ingin menikah. Kalau misalnya pada JKA ditanggung semua biaya sebesar keperluan untuk pasien, beda dengan JMA ini. Semisal semua yang ingin menikah ditanggung sama rata dengan bantuan seharga 5 mayam emas, selebihnya itu menjadi tanggung jawab si lelaki yang ingin menikah itu sendiri. Ini cukup membantu bagi kaum pemuda lajang di Aceh yang ingin menikah. Tapi ini khusus buat pemuda lajang yang belum pernah menikah sebelumnya. Pemerintah Aceh bisa mengucurkan bantuan ini ketika sebulan setelah si lelaki ini menikah; tentu saja membawa buku nikah sebagai barang bukti untuk proses pencairan dana, saya kira dalam hal ini Biro Kesejahteraan Rakyat dibebankan tanggung jawab, atau Dinas Pemuda dan Olahraga. Kenapa tidak?
Jangan dianggap remeh terhadap persoalan ini, bahwa diantara begitu banyak kasus kasus mesum yang tertangkap di Aceh karena mereka tidak sanggup menikah. Melamar dengan “bismillah” tak dianggap, melamar dengan ijazah sarjana juga tak diterima karena memang dimana-mana sarjana berserakan di warkop-warkop di Aceh. Ingat, mahar yang tinggi tidak menjamin pasangan yang menikah itu akan bahagia dan sejahtera.
Kiranya harapan saya mewakili puluhan ribu kaum lajang di Aceh yang tidak/belum mampu menikah, karena persoalan harga emas semakin naik tinggi dan mempertahankan adat jeulamee di Aceh juga dirasakan perlu adanya. Bayangkan jika jomblo-jomblo di Aceh ini bersama dan buat aksi ke DPRA menuntut supaya kebijakan terhadap persoala hajat ‘arus bawah’ jomblo juga mestinya di perhatikan. Bila tidak, sungguh para lajang Aceh dengan jumlah populasi yang semakin banyak, akan melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan nantinya. Orang tua yang ada anak gadisnya juga mesti tidak terlalu berlebihan dalam menentukan mahar anak gadisnya, salah-salah tidak ada yang melamar dan jomblo seumur hidupnya.
Tentu, ini juga persoalan anak bangsa yang mesti kita hindari sekarang ini. Seruan saya kepada seluruh kaum lajang Aceh, mari bersatulah untuk menuntut hal ini kepada pemerintah. Jangan tinggal diam kawan, marilah kita buat luluh hati para calon mertuamu agar tidak mematok mahar buat anak gadisnya tinggi-tinggi. Atau putusin saja gadis yang kamu cintai dan kita cari gadis di luar Aceh!? [tulisan ini sudah pernah dimuat di situs atjehpost.com pada Maret 2013]