Suatu Siang, Anak Anak Lampu'uk | koleksi pribadi |
Sehabis
puntung rokok tadi, Karim bergegas ke kamar melirik puntung-puntung
rokok lain yang masih lumayan untuk dihisab beberapa kali lagi. Ah,
susah benar kalau sudah candu barang yang telah di vonis haram ini.
Bersiul
mengikuti irama lirik sebuah lagu dari radio busuk di dalam kamarnya.
Tersirat senyum wajahnya seakan tidak menampakkan bahwa nanti malam
tidak tahu harus makan nasi dengan lauk apa. Ini bukan kali pertama ia
menjalani hari-hari akhir bulan dengan suara perut kkrak-kkruk. Sudah
empat hari lalu ia hanya makan nasi putik tok dicampur minyak goreng
ikan yang tersisa di belanga dapur, selebihnya ia membumbui sedikit
garam. Hanya itu. Tak ada lauk ikan atau paha ayam goreng renyah.
Ini
sudah masuk tahun ke-enam Karim menjadi mahasiswa di Fakultas Teknik
Industri. Ia juga belum menyusul teman-temannya yang sudah lulus sarjana
bahkan ada yang sudah bekerja. Mereka lain. Anak-anak orang beruang,
istilah Karim. Setiap sesuatu yang berkendala di kampus, mereka langsung
tanya apa yang sebenarnya diinginkan dosen itu, handphone seri
terbaru, kupon makan di restoran cepat saji, bahkan ada dosen yang
langsung mematok angka yang akan mengernyitkan dahi setiap mahasiswa
miskin yang tak bisa memenuhi keinginan si dosen itu, seperti Karim.
Sebab Karim masih ingat pada kejadian semester lalu, saat ia dan Gunawan
tidak ikut ujian akhir semester maka kuliah Statika Teknik yang tak
pernah lulus-lulus sebelumnya. Ini kali ke-empat dia ambil mata kuliah
itu.
Karim dapat nilai E, sedangkan Gunawan dapat nilai A. bagaimana mungkin coba? gerutu Karim saat itu pada Mujib, teman senasib sepahit. Selang seminggu kemudian, Karim melihat pelak mobil Innnova pak Komaruddin Hidayat pengasuh mata kuliah itu telah diganti dengan yang baru dan mengkilap mentereng. Karim yakin sekali ada hubungannya dengan Gunawan. Inilah kasus suap di birokrasi dosen kampus Universitas Aneh Bukanmain itu. Yah, namanya juga kampus swasta yang bergedung di toko-toko pinggir jalan kota. Semua bisa dilobi dengan uang. Makanya ada banyak lulusan sarjana di kampus itu yang masih tolol bin tengik. Tak tahu apa-apa ketika misalnya dipanggil waktu wawancara pada sebuah perusahaan, begitu yang Karim dengar dari ocehan-ocehan kawan-kawan kampusnya di kantin.
Karim bukan juga orang yang mau seperti itu, disamping ia juga tak beruang. Ia tak mau mendapatkan nilai dengan cara suap dosen. Tak etis dan tak punya moral. Seorang aktivis pantang menerima ini, ia sering demo ke kantor pemerintah jika saja ada indikasi korupsi. Ini yang paling ia tidak suka pada orang-orang yang makan uang rakyat fakir wal miskin yang masih hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan otak. Tidak, ia akan melawan semampu ia melawan tentara ketika di kampung dulu saat diserbu dengan beribu peluru. Saban hari dan malam. Hingga ia akhirnya masuk dalam DPO, daftar pencarian orang. Sebab itu ia lari ke Kota Bandar Raya yang sedikit aman. Hingga namanya di ganti menjadi Samir Fahri. Itu nama tokoh utama dalam novel Senjata Tuan yang paling di gemarinya sejak SMA dulu. Sekarang ia telah kembali ke nama pemberian orang tuanya, Abdul Karim. Tapi ia sering memperkenalkan namanya dengan Karim Jangkabuya. Kata yang belakang itu nama kampungnya di pesisir Kabupaten Campa Utara.
Tidur di terminal tak membuatnya mengeluh dengan kondisi waktu pertama kalinya datang ke kota ini. Sehari-hari Karim berjualan rokok keliling di terminal bus. Asal bisa bertahan hidup, ini zaman buruk pikirnya. Sampailah ketika berbilang bulan kemudian, ketika para lulusan SMA beramai-ramai ke Bandar Raya setelah tamat sekolah untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Tak sengaja ia bertemu dengan teman sewaktu ia SMA dulu, hingga Karim tertarik untuk mengikuti tes masuk di kampus itu. Dulu ia termasuk siswa yang jago dikelasnya. Setelah diterima di Fakultas Teknik Industri itulah, dengan modal nekat dan berharap bisa tabah dan sabar menjalani hari-hari hidup yang penuh dengan kesusahan. Menahan lapar, tak bisa bayar SPP hingga pernah diusir di rumah kontrakan karena tak membayar uang sewa yang telah jatuh temponya.
Aktif dibeberapa organisasi kampus yang membuatnya belum selesai kuliahnya. Hari-harinya selalu disibukkan dengan kegiatan-kegiatan kampus, semua kegiatan di kampus pasti Karim selalu terlibat langsung didalamnya. Ada yang sebagai penanggung jawab kegiatan atau hanya orang yang mengantarkan undangan dan tempel brosur di dinding pengumuman setiap fakultas.
Sambil bersiul memainkan rokok di jarinya, sore menjelang magrib. Ketika burung-burung telah pulang ke sarangnya. Langit mendung dari tadi siang seakan hujan enggan turun. Hujan yang malas.
“Anda di
panggil ke Poltabes Bandar Raya”. Dua orang anggota polisi berseragam
dinas menunjukkan surat pemanggilan ke Poltabes pada Karim yang duduk di
teras rumah kos nya.
“Kasus apa Pak!” Karim tertegun sejenak. Jantungnya berdegup kencang.
“Anda dilaporkan telah mengancam nyawa seseorang”. Jawab polisi itu tegas.
“Tapi saya hanya menggertaknya saja, Pak!”
“Nanti di kantor Anda bisa jelaskan kepada penyidik”
“Ayo ikut kami, atau perlu kami bawa paksa” polisi yang tadi hanya berdiri saja ikut berbicara.
“Tunggu Pak, saya pakai baju dulu”.
Karim masuk kamar lalu diikuti oleh seorang polisi tadi. Ketika tangannya mau di borgol, Karim menolaknya dengan halus. Tak begitu jelas wajah gelisah dan takut di muka Karim. Ia memang sudah siap jika sewaktu-waktu bisa berhadapan dengan aparat polisi tentang apa yang telah ia lakukan itu.
“Tenang Pak, saya tidak akan lari”. Karim tersenyum sinis ke arah polisi itu.
Setelah sembahyang Magrib di mushalla Poltabes, Karim di suruh menghadap ke meja Kasat Reserse dan Kriminal malam itu.
“Nama”
“Karim Jangkabuya, Pak”
“Nama sebenarnya?”
“Eh, Abdul Karim, Pak”
“Umur?”
“25 tahun, Pak”
“Apa maksud Anda melakukan ini” Perwira polisi itu memperlihatkan sebutir peluru di atas meja.
Karim
tidak asing dengan butir peluru yang telah tiga tahun disimpan dalam
saku celananya. Ke mana-mana ia selalu membawa butir peluru itu. Ia
ingat ketika peluru itu diambilnya dibalik tubuh almarhum Ayah yang
bersimbah darah terkena peluru nyasar waktu perang di kampungnya dulu.
“Anda di dakwa dengan pasal….
Belum habis polisi itu berkata, Karim memotongnya.
“Saya hanya menggertaknya, Pak. Tak ada maksud ingin membunuh”
“Tetapi nyawa orang telah terancam hingga membuat pengaduan kepada kami”
“Saya tidak bermaksud jahat, Pak!”
Lalu
polisi itu meminta alasan Karim kenapa memberikan peluru itu pada Pak
Komaruddin ketika selesai ujian akhir semester mata kuliah Kinematika
kemarin. Karim meletakkan peluru itu di atas meja dosennya sambil begini
berkata pada Pak Komaruddin.
“Saya
sudah lima kali mengambil ulang mata kuliah ini, saya bisa jawab semua
soal ujian kemarin, saya tak mau ulang lagi mata kuliah jahanam ini,
jika tahun depan tidak wisuda, saya sudah di DO (droup out), saya tidak punya apa-apa Pak, ini yang sanggup saya berikan pada Bapak, sebutir peluru”
Ia lihat saat itu pucat pasi wajah Pak Komar yang duda anak satu. Istrinya hilang ketika amuk gelombang laut ke darat yang menerjang kampungnya di Lampageu. Lalu Karim keluar ruang itu sambil membenarkan letak ras ransel ke punggungnya, ia terbayang wajah sedih ibunya melihat ia belum memakai baju toga. Sebagai bukti sarjana?
Setelah Karim menjelaskan sebab alasan perbuatannya pada sang dosen, tiba-tiba sesosok polisi menghadap komandannya.
“Pak, pelapor kasus ini mau mencabut laporannya”
“Kenapa”
“Tanyakan saja pada Bapak Komaruddin, ini saya ajak serta ke ruang Bapak”
“Oke, suruh masuk saja”
“Karim,
maafkan saya ya” suara Pak Komar pelan. Saya sangat mencintai Mira
Sungkar, mahasiswi jurusan Teknik Sipil yang menjadi pacar kamu itu.
Selama ini saya sangat cemburu melihat kamu selalu pergi dan pulang
kampus dengannya. Cinta saya tak pernah di tanggapi serius olehnya.
Berkali-kali saya ajak jalan-jalan tak pernah disanggupi oleh Mira, tadi
saya menelepon dia dan bertanya kabar yang sebenarnya, semuanya sudah
jelas, kamu bukan pacar Mira”
“Ya
iyalah Pak, Mira itu anak ibu kos saya, dia tak bisa bawa motornya ke
kampus, dan Ibunya yang selalu meminta saya menemaninya agar pergi
sama-sama”
Karim sangat terkejut mendengar pengakuan Pak Komar itu. Lalu Pak Komar melanjutkan.
“Sebab
itulah saya tidak pernah tahu, saya sangat cemburu dan benci pada kamu
Karim, hingga saya membalas dengan tidak meluluskan mata kuliah kamu
dengan saya, biar kamu jera.”
Karim melihat raut wajah sedih di muka Pak Komar.
“Laporan saya cabut kembali, Pak” kata pak Komar pada polisi perwira menengah itu.
“Oke, kalau begitu berdamailah. Ingat, jangan ada lagi dendam”
“Iya, pak” Karim dan dosennya menyahut secara bersamaan.
Butir
peluru tidak dikembalikan oleh polisi itu. Jangan ada lagi kasus kedua
kalinya yang terjadi, kata polisi ketika Karim dan Pak Komar bergegas
keluar ruangan. Karim tersenyum, ada sebuah rasa kemenangan di dalam
hatinya. Tapi ada satu hal yang membuatnya berpikir, perutnya yang
masih kosong. Tidak tahu makan malam dengan lauk apa!
Banda Aceh, April-Oktober 2009
(Lahir di Bireuen, 28 Juni 1982. Jamaah di Forum Sastra Kedai Kopi)
No comments:
Post a Comment