Foto: Mardhatillah |
MALAM Minggu (9/11) lalu, selepas Isya, sekitar 70-an anak-anak muda
di Banda Aceh menjalankan satu kegiatan yang agaknya lumayan asing bagi
dunia malam minggu mereka selama ini. Mereka mendirikan sebuah panggung
kecil setinggi 30 sentimeter, menempatkan dua kursi putar tak bersandar,
ditambah pengeras suara seadanya.
Acara itu berlangsung di sebuah
café di kawasan Lampriet, sepelemparan batu dari Kantor Gubernur Aceh,
tempat di mana biasanya Komunitas Stand Up Comedy Banda Aceh kerap
mengasah bakat melawak mereka. Acara yang digagas oleh sejumlah
komunitas kreatif tersebut (Akar Imaji, Forum Sastra Kedai Kopi, Klub
Diskusi Kutubuku) mengusung tema: FREEDOM! Malam Puisi Aceh.
Acara
malam itu menarik, ketika ada upaya menyeret puisi keluar dari sangkar
besi kaum sastrawan. Malam itu yang membaca puisi dapat dikatakan bukan
dari kalangan penyair, setidaknya mereka yang selama ini bertahun-tahun
berasyik-masyuk dengan puisi dan dunianya yang misterius.
Tampak
dari mereka yang membaca puisi malam itu berusaha melawan perasaan
gentar yang terbangun--dan punya daya rusak seperti takhayul--selama ini
bahwa, “Ruang baca puisi hanya untuk mereka yang disebut penyair atau
paling banter para pembaca puisi yang telah malang melintang di
panggung-panggung pembacaan puisi.” Pada Malam Puisi Aceh, umumnya yang
membaca puisi adalah wajah-wajah baru, kecuali Akmal van Roem, juara
tiga Lomba Baca Puisi Youtube yang ditaja Helvi Tiana Rossa.
Saya
sendiri membaca dua puisi karya WS. Rendra, Surat Cinta dan Pesan
Pencopet Kepada Pacarnya, diiringi gesekan biola nan syahdu oleh Fuadi
Keulayu, seorang tukang hikayat modern Aceh. Pembacaan puisi malam
itu berlangsung seperti tadarus, sambung menyambung. Dan para pembaca
umumnya memilih puisi-puisi bertema cinta, diselingi puisi kritik sosial
karya KH. Mustafa Bisri, seperti Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus
Bagaimana?
Walau agak malu-malu, ada juga yang membaca puisi
karya sendiri. Mereka tampil dengan ekpresi dan gaya mereka
masing-masing. Terlihat tanpa beban. Dan mereka tidak perlu repot harus
mematuhi arahan instruktur atau pelatih sebagaimana yang umumnya terjadi
dalam lomba-lomba baca puisi. Seorang remaja nekat membacakan sepotong
puisi cinta dan ditujukan kepada seorang gadis pelayan di cafe tersebut.
Mifta
Sugesty, seorang mahasiswa psikologi Universitas Syiah Kuala, membaca puisi hasil ciptaannya
sendiri: Untuk Apa Kita Kumpul di Sini? Mifta mempertanyakan kepada
pengunjung kenapa berada di sini malam itu. Perhatikan penggalan bait
puisinya: Untuk apa kita berkumpul di sini?/ untuk membunuh waktu?/ atau
menghidupkan jeda?/ untuk apa kita berkumpul disini?/ Sekadar berebut
kursi atau sekadar mencuri dengar puisi?/ untuk apa kita berkumpul di
sini?/ karena waktu sudah lewat/ lampu masjid sudah dimatikan/ dan kita
mendapati diri terseda pengap kota?/ atau kita berkumpul di sini untuk
mencari Tuhan?
Jika selama ini puisi adalah milik kaum yang
menyatakan dirinya penyair, maka Malam Puisi Aceh dapatlah dikatakan
sebagai upaya mengenalkan dunia sastra di Banda Aceh kepada khayalak
yang lebih luas, langsung di mana publik menghabiskan waktu senggang
mereka.
Kesan bahwa puisi itu agung dan hanya dapat dinikmati
oleh sebagian orang yang sangat paham dengan sastra coba dipertanyakan
ulang dalam Malam Puisi Aceh. Memang masih ada keterbatasan sebagaimana
kecanggungan yang terlihat jelas. Tapi para pegiat komunitas ini telah
membawa pembacaan puisi ke tempat nongkrong yang penuh remaja berdarah
panas dan anak gaul kota. Setidaknya puisi-puisi dapat menyejukkan hati
mereka, jika bukan membuat mereka tambah membara. Ini setidaknya
membuktikan bahwa acara pembacaan puisi bukanlah badut dalam kehidupan
masyarakat.
Pembacaan puisi sudah selayaknya keluar dari aturan
dan arahan tertentu, kecuali aturan itu merupaka standar perlombaan.
Setiap orang bebas tampil di panggung, membawa sebuah puisi, membaca
sesuka hatinya sesuai irama yang disukainya. Seperti seseorang bernyanyi
di kamar mandi. Suatu saat, misalnya, kita tidak perlu kaget apabila
menemukan seorang di kedai kopi, tiba-tiba naik ke atas bangku dan
membaca beberapa puisi. Tentu bila seseorang itu punya mental sekeras
baja.
Kita berharap, pembacaan puisi memang harusnya akrab
dengan dunia kaum muda. Puisi cenderung dapat mengungkapkan perasaan
mereka tentang apa saja, tentang cinta, tentang alam, lingkungan,
kebaikan atau kejahatan pemerintah. Dan apa yang perlu ditekankan, acara
Malam Puisi Aceh itu telah menolong para penyair dengan membuat puisi
bukan lagi sebagai makhluk asing. Selamat bergabung dalam dunia sastra
para calon penyair muda. (*)
* Muhadzdzier M. Salda, tinggal di Lamgapang. Jamaah Forum Sastra Kedai Kopi
menarik :). Salam kenal
ReplyDeleteTerimakasih telah berkunjung :)
Delete