[sumber: Opini Harian Serambi Indonesia | Senin, 28 Januari 2008]
oleh Muhadzdzier M. Salda
APA yang saya khawatirkan beberapa hari yang lalu, akhirnya terbukti juga. Sebagaimana telah dikabarkan seorang kawan dan juga di harian Serambi (23 Januari 2008), Hendra Koesmara calon kandidat nomor 5 terpilih sebagai presiden mahasiswa Unsyiah 2008 pada pemira (pemilihan raya) yang dilaksanakan pada Senin/21 januari 2008 lalu. Hendra mendapat dukungan yang sangat luar biasa dari kawan-kawan dan kader seorganisasinya. Bahkan ia mendapat dukungan dari Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (dalam sebuah foto kampanye yang saya lihat dikampus Unsyiah)
aksi di DPRA-Tahun 2008 |
Saya tidak tahu apakah ini kebohongan pada publik mahasiswa Unsyiah. Atau memang benar adanya dukungan dari Pak SBY. Dan jika kemarin mahasiswa memilih hingga meraih 3.000 suara hanya karena tertarik dengan foto Hendra berjabat tangan dengan Bapak Presiden RI itu, maka sungguh ini menjadi hal yang buruk bagi pikiran kita dalam menilai kandidat presma untuk dipilih. Apalagi ada kabar yang dengar, ia adalah anak titipan dari sebuah partai politik. Benarkah demikian?
Tentu, ini bukan masalah yang ingin saya kemukakan. Apalagi mengingat ketika seorang kawan yang mengetahui bahwa Hendra terpilih, mulutnya langsung terucap kata-kata dengan sedikit nyeleneh; awak-awak seot jadi presiden mahasiswa Unsyiah. Pu hana laen? (Orang-orang itu juga yang jadi presiden mahasiswa, apa tidak ada orang lain?) Saya waktu itu pun tersenyum melihat tingkah kawan tersebut.
Awalnya
saya menduga sikap teman tadi hanya kecewa karena kandidat yang ia usung kalah.
Saya sendiri sudah menduga kalau kandidat di luar mereka tidak akan menang. Ini
yang kemudian cenderung membuat sikap apatis dan bosan dengan politik di kampus
yang saat ini begitu pragmatis. Sehingga kasak-kusuk mengenai kandidat kurang
begitu menarik. Kecuali hanya menjadi pendengar yang sekali-kali bertanya.
Namun dalam Pemira kali ini menjadi menarik, karena ketika pendukung kandidat yang menang sekarang berkampanye dengan membuka kejelekan calon kandidat Presma lainnya. Mulai tudingan tidak bisa memimpin, membuat kecurangan sampai fitnah yang menyatakan kandidat lain adalah titipan beberapa organisasi eksternal di kampus.
Yang
menarik lagi ketika sijuru kampanye beragumen bahwa ada dua fungsi mahasiswa;
yaitu mahasiswa sebagai mahasiswa dan mahasiswa sebagai masyarakat. Jadi,
ketika mahasiswa sudah dalam masyarakat, maka sah-sah saja ia berpolitik
sebagaimana haknya sebagai masyarakat.
Pahamnya
itulah yang mengalutkan saya. Itu pula yang mungkin menghalalkannya untuk
berpolitik praktis bahkan cenderung menempu segala cara di sebuah lembaga
pendidikan yang sejatinya mengedepan nilai-nilai intelektual dan independen.
Maka wajar saja dalam rentang kepemimpinan mahasiswa (Unsyiah) sejak tahun 2001
sampai sekarang, Presiden Mahasiswa selalu dikuasai oleh kalangan anak mushalla
, Istilah trend non mahasiswa kantin.
Ada hal penting yang harus menjadi catatan presiden mahasiswa Unsyiah tahun ini. Bahwa selama ini para pemimpin mahasiswa masih mengedepankan politik praktis. Ironinya isu-isu yang diusung tidak konteks dengan kebutuhan mahasiswa pada umum. Misal, isu palestina yang sering dijadikan manufer politik. Padahal berbagai persoalan mahasiswa (Unsyiah) seharusnya tidak bisa diabaikan.
Aneh, mahasiswa berteriak Pelestina, tapi tidak pernah berteriak bagaimana mahasiswa miskin, korban konflik dan tsunami dan berteriak tentang nasib rakyat Aceh. Berbagai persoalan kerakyatan itu selalu terbentang di depan dan menghiasi harian media di Aceh. Misal, kasus ketidakadilan dan penindasan hak untuk hidup sebagai rakyat yang merdeka
Kepemimpinan
mahasiswa Usnyiah selama ini tampaknya luput dari isu-isu nasib rakyat Aceh.
Sehingga mahasiswa hanya mengklaim sebagai pembela rakyat, akan tetapi justru
mengabaikan rakyat itu sendiri. Lebih ironi, sang pahlawan mahasiswa dengan
bangganya membela orang-orang Palestina, Irak, Afganistan. Mahasiswa kita
berani berdemo menentang paham orang Barat yang menindas orang-orang Islam,
tapi lupa akan nasib saudara muslimnya sendiri seperti di Aceh yang miskin dan
tertindas.
Tentu,
saya pun yang juga muslim menilai tak salah jika berteriak untuk nasib muslim
di luar negeri, tapi bukankah agama mengajarkan lebih utama membela saudara
muslim di negeri sendiri? Karena Islam mengajarkan agar membantu sesama
saudara, orang di kampung kita yang masih lapar, berjuang membela hak-hak kesejahteraan
yang layak mereka.
Inilah yang selama ini tidak maksimal dilakukan mahasiswa, terutama terpikir dari para pemimpin mahasiswa di Aceh, khususnya generasi Darussalam. Justru selama ini mahasiswa hanya berkutat buat kegiatan baksos-baksosan. Itu pun karena ada keuntungan material proyek dari lembaga BRR. Kenapa tidak sekalian baksos saja ke Palestina, Irak, Afganistan. Atau menjadi mujahid berperang melawan Israel atau sekutu-sekutunya.
Gerakan Perubahan
Kembali
ke soal pemira Unsyiah 2008, ada isu yang menarik diusung para Capresma pada
debat kandidat yang berlangsung di lapangan tugu Darussalam, yaitu mahasiswa
harus bebas dari segala praktik partai politik. Ini penting karena ketika sang
Presiden Mahasiswa bergelut dalam parpol, maka tridarma perguruan tinggi yang
harus dilaksanakan mahasiswa akan menjadi terabaikan. Lebih dari itu, mahasiswa
akan kehilakang jatidiri ketika ia menjadi tunggangan politik partai di kampus.
Karena presiden mahasiswa sebagai representasi kaum akademis hanya menjadi
seekor kerbau yang ditusuk hidung untuk dihela sesuai kemauan pengembalanya
(partai politik).
Tentu, mahasiswa berpolitik bukan suatu yang haram. Namun suatu yang haram ketika mahasiswa berpartai politik itu sendiri, dan membawanya ke dalam kampusnya. Jika demikian halnya, maka dipastikan bahwa mahasiswa itu akan memandang tanggungjawabnya semata-mata membela partai bukan membela mahasiswa sebagai rakyatnya. Inilah inti bahwa kampus harus bebas dari politik praktis, pragmatis yang cenderung aniaya.
Apa yang saya amati selama ini, bahwa menjadi pemimpin mahasiswa dianggap sebuah dinasti kekuasaan yang harus direbut, bahkan dengan cara apa saja. Menjadi pemimpin mahasiswa bukan berjuang untuk kepentingan rakyat (mahasiswa) dan menyelesaikan segala persoalan mereka. Inilah adalah ironi, bagaimana politik praktis menguasai kampus dapat diamati ketika dilaksanakannya Rapimda salah satu parpol di gedung AAC Dayan Dawood, beberapa waktu lalu. Keadaan itu merupakan pengalaman buruk sekaligus indikator bopengnya wajah mahasiswa kita.
Mahasiswa Unsyiah kehilangan identitas dan integirtasnya sebagai civitas akademikan yang independen. Karenanya berharap pengalaman buruk parpol mngguratkan kekuasaan di kampus sebagai ladang akademis, hendaknya tidak terulang dalam kepemimpinan mahasiswa ke depan. Hal ini sesuai dengan wejangan dari Purek III Unsyiah pada sambutan debat Capresma Unsyiah 17 Januari 2008, bahwa mahasiswa harus ideal dan independen serta memperjuangkan kampusnya.
Harapan
itu sangat didambakan, misal, bagaimana menjadikan kampus bebas dari anasir
luar baik kekuatan kekuasaan dan politik praktis. Ini yang dirindukan
mahasiswa. Semoga[]
*) Penulis adalah Mantan Mahasiswa Fakultas Teknik - Unsyiah
No comments:
Post a Comment