sumber | Harian Serambi Indonesia, Minggu 11 Desember 2011
Nggak Tau Ini Foto Karya Siapa | istimewa |
Sore
itu hujan sangat deras.. Aku pulang dari kantor dengan badan basah kuyup.
Dingin menyelimuti seluruh badan. Sudah menjadi kebiasaan setiap waktu hujan
kala sore tiba, aku sengaja pulang dalam hujan. Sengaja berbasah basah
menikmati rintik hujan. Ini memang sudah menjadi kegemaranku mandi dalam hujan.
Kubiarkan ini terjadi bersebab sampai di rumah istriku sudah memasak air panas
untuk mandi bersih.
Sore
hari Rabu itu, lebih tepatnya sore sudah menjelang waktu Magrib. Awan mendung
hitam pekat. Aku pulang kantor dengan suasana yang lelah bukan kepalang.
Seluruh sendi otot seakan kaku, tak sanggup bergerak. Mataku lelah dan
sayu menatap layar komputer untuk membuat laporan perusahaan akhir bulan.
Selepas sembahyang Magrib malam Rabu itu, aku memilih tidak keluar rumah. Cuaca
memang sedang buruk. Suara gumuruh menggelegar dari langit arah selatan lalu ke
timur. Sekali kali petir menyambar dengan suara menggelegar. Sewaktu kecil
nenekku pernah bercerita, kala petir itu datang pertanda langit murka. Tuhan
sedang mengejar iblis yang terkutuk. Kalau suara petirnya besar ini pertanda si
iblis yang dikejar kena tepat sasaran. Entah benar adanya cerita nenekku
itu. Tapi yang pasti ketika petir dengan suara besar, aku lebih memilih duduk
di dalam rumah dan mematikan pesawat televisi serta perangkat elektronik
lainya.
Malam
itu ternyata hujan benar benar turun selepas suara petir ribut lalu gemuruh
riuh. Istriku sedang tugas ke luar daerah. Karena sendiri membuat suasana benar
benar sepi. Sunyi sekali. Hujan mulai turun sangat deras. Rintik suara dari
atap rumah jelas terdengar keras. Aku sengaja mengintip lewat
celah jendela kamar. Benar adanya memang, setiap hujan tiba perempuan
yang menjadi tetangga rumahku itu akan berdiri di jendela menatap bayang hitam
rintik hujan. Apa ia orang yang mencintai hujan? Tidak. Kalaupun benar, ia akan
berlari dan berbasah basah dalam hujan. Hujan di luar masih saja deras sekali.
Angin kencang mulai membuat suasana semakin kacau. Tepat jam sembilan aku
bergegas menuju ke tempat tidur. Di luar masih hujan deras. Sekali kali
petir terdengar sangat keras.
Besok
pagi, seperti biasanya aku bangun dengan memasak air hangat untuk bekal mandi
pagi. Suasana pagi yang dingin menyusup sampai ke tulang. Rasa malas untuk
mandi benar benar adanya jika ada ada air hangat. Sayup sayup
dari luar kudengar suara ramai orang-orang berkumpul di jalan kompleks
perumahan. Aku membuka jendela ruang tamu. Deg! Orang orang sedang menatap
seuatu hal yang dikerumuni orang ramai. Aku melihat kepala kompleks sedang
berbicara dengan telepon genggamnya. Lalu kulihat seorang polisi sedang
berbicara dengan handy talk.
Aku
keluar dengan wajah penuh penasaran. Menerka nerka pada apa yang terjadi di
tempat kejadian itu. Dengan memakai kain sarung dan berbaju kaos, aku melangkah
perlahan dengan wajah penasaran mendekati tempat kejadian. Rasa ingin tahu akan
apa yang terjadi. Orang orang saling berbicara satu sama lain. Mereka bertanya
dengan harapan mendapat jawaban yang meyakinkan. Mataku terbelalak menatap
sesosok mayat yang tak asing bagiku. Walau dari wajahnya sudah gosong seperti
terbakar. Bukankah itu Ramulah, tetanggaku yang setiap hujan tiba akan berdiri
di jendela rumahnya menatap keluar rumah?
Orang
orang saling menatap. Ada yang diam seakan tak percaya pada apa yang terjadi.
Wajahku pucat pasi menyaksikan sosok mayat perempuan itu. Wajahnya seperti
tersenyum. Beberapa anggota polisi sibuk menyiapkan kantong jenazah.
Kuberanikan diri bertanya pada seorang penduduk. Ramulah disambar petir
semalam. Itu jawaban yang kudapat. Suami Ramulah tak ada yang tahu di mana
rimbanya. Sepuluh tahun sudah meninggalkannya. Ramulah hidup sendiri menjadi
seorang janda. Mereka tidak punya anak sama sekali. Kabar yang kudengar dari
desas-desus orang orang kampung, Ramulah kerap berdiri di jendela rumahnya kala
hujan tiba. Dia menunggu suami pulang dari rantau. Ketika pertama kali suaminya
berangkat merantau, suasana memang hujan deras. Suaminya berjanji akan pulang
saat hujan deras tiba, seperti juga saat dia pergi meninggalkannya.
Seperti
kebanyakan perempuan lain, Ramulah selalu percaya pada lelaki yang telah
menikahinya. Sekarang, tak ada seorangpun yang tahu dimana rimba sang suami.Ada
yang menyebut kabar buruk, suaminya telah masuk penjara dengan kasus perampokan
anak seorang pejabat di ibukota.Apa pun kata orang, Ramulah selalu
menanti sang suami pulang, saat hujan deras, sampai petir kemudian
menjemput ajalnya[]
No comments:
Post a Comment