Saat saya datang, ia menyambut saya dengan ramah, mempersilakan duduk. Ia ikut memanggil pelayan di warkop untuk memesan kopi buat saya. Saya benar benar merasa sangat dihargai sekali, sore itu seiring senja perlahan turun. Suara pengajian dari corong microfon masjid, waktu magrib semakin akrab.
Sejam kemudian, datang temannya yang lain. Karena meja tempat kami mengobrol sudah penuh, ia ikut bantu geser meja lain untuk digabungkan dengan meja kami duduk semula. Tidak ada kesan canggung sedikitpun. Bagi saya, ini pelajaran hidup yang begitu penting tentang karakter teladan seorang tokoh dalam menghargai orang lain.
Lelaki itu dikenal bernama Nezar Patria, kelahiran Sigli. Setamat SMA di Bandaceh, ia jadi mahasiswa di Filsafat UGM, Jogya. Pasca reformasi, menyelesaikan Magister di London, Inggris. Sebelum era tahun 1998, Nezar ikut mendirikan Partai Rakyat Demokratik pada tahun 1996. Terlibat sebagai pemimpin gerakan mahasiswa dalam menentang rezim orba penguasa kala itu, Suharto.
Nezar pernah jadi korban penculikan aktivis yang menuntut reformasi tahun 1998. Saya membaca tulisan "Kesaksian Nezar Patria" disebuah situs media internet, tentang kronologis penculikannya masa sebelum reformasi 98.
Bakda tsunami dan amuk peluru reda sementara dengan pusat (Jakarta) saya mengenal namanya dari koran. Membaca tulisan jurnalistik dan essainya di media cetak dan digital.
Di sebuah warkop, malam itu saya benar benar beruntung. Bisa duduk ngobrol dengan waktu yang lama, 4 jam lebih bersama Nezar Patria. Melalui seorang Sastrawan Aceh, Azhari Aiyub saya akhirnya berkesempatan ngopi bersama Nezar Patria, bahkan pada dua buah sore sekaligus. Nezar kebetulan berada di Banda Aceh, menghadiri undangan sebagai pemateri jurnalistik di sebuah kantor penghambat populasi penduduk itu.
Dulu, mengenal namanya lewat tulisan paling membekas dalam ingatan saya; Sejarah Mati di Kampung Kami. Tulisan itu saya baca dua bertahun kemudian di Majalah TEMPO edisi terbit Januari 2005. Dua minggu pasca gempabumi dan tsunami Aceh 2004. Pembuka tulisan itu begitu dramatis. Ia memang lihai dalam tulisan-tulisan naratif. kalimat pendek, padat dan tegas.
Mardiyah Chamim, temannya sesama jurnalis di Majalah Tempo kemudian menerbitkan sebuah buku “Sejarah Tumbuh Di Kampung Kami” catatan tentang Aceh pasca tsunami, diterbitkan oleh Yayasan Air Putih, tahun 2005. Saya mendapatkan buku itu sewaktu mengikuti workshop menulis Seuramoe Teumuleh, akhir 2006.
Dulu saya mengira Nezar Patria sosok yang pendiam tak banyak bicara. Nyatanya, dugaan buruk saya itu salah besar. Di media internet, foto-foto wajahnya tak tampak seorang humoris, jarang saya lihat dengan foto kala ia tersenyum. Tapi tidak juga terkesan wajahnya sangar. Tulisannya tak tampak sebagai tulisan lelucon dan mengandung humoris, tak juga satir. Ia menulis banyak essai, laporan jurnalistik panjang, puisi-puisi kerap hadir di ruang budaya koran nasional, Harian Kompas dan Koran Tempo pernah saya baca beberapa kali. Kini ia sebagai anggota Dewan Pers, malang melintang sebagai wartawan di banyak media massa. Nezar banyak mengurusi media digital sebagai jajaran redaksional.
Dengan saya beda umur 12 tahun, tapi difoto wajahnya masih sangat muda. Mungkin inilah efek hidup orang bahagia dan banyak humornya. Raut wajah tak berkesan mengkerut. Ia begitu menghargai lawan bicaranya. di Aceh, saya tau banyak aktivis dan kaum gerakan yang belajar kepadanya sejak masa sebelum hingga reformasi, bahkan sampai sekarang.
Sekitar dua tahun yang lalu, dari seorang teman yang kuliah di Jogja, saya tau Nezar Patria ternyata tak hanya jago dalam meramu kata-kata, tapi juga lihai dalam meramu bumbu-bumbu masak di dapur, ternyata ia seorang yang jago memasak.
Ini kali ke empat saya bertemu dan bisa berdiskusi banyak hal, sekali lagi; Saya sungguh beruntung. Tak ada diskusi di meja kami yang benar benar serius, kebanyakan lelucon dan cerita cerita lawak kerap muncul dari obrolannya. Nezar Patria sangat humoris saya kira, leluconnya kerap kali jadi bahan tertawaan kami. Bahasa Aceh-nya masi logat khas sebagai orang Aceh, tak berkesan kalau ia telah lama bermukim di Pulau Jawa.
Tahun 2014 lalu masa penyusunan kabinet menteri Jokowi-JK, namanya digadangkan-gadangkan sosok kuat yang akan dipilih Jokowi jadi Menkominfo. Ia pernah menjadi Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pusat. Pemimpin redaksi di banyak media bernama di Indonesia, kali ini periode kedua ia dipercayakan sebagai anggota Dewan Pers. Pasca reformasi 98 Nezar lebih memilih jadi Wartawan di Majalah TEMPO sekian lama. Nezar kerap hadir dibanyak kampus sebagai pembicara pada kuliah tamu, umumnya tentang tema jurnalisme.
Terimakasih Bang Nezar atas waktu dan kesempatan ngopi dan berdiskusi, membahas hal-hal lucu, tentang sastra dan jurnalisme. Saya benar-benar beruntung malam itu []
No comments:
Post a Comment