Boleh
disebut saya termasuk seorang yang beruntung terlahir sebagai anak dari gampong.
Gampong sejuk dengan tatanan sosial masyarakatnya yang sangat santun dan
bermoral dalam berinteraksi sesama. Rasa kepekaan terhadap segala permasalahan
sosial seperti pada umumnya gampong-gampong di Aceh lainnya. Menulis gampong,
pikiran saya tidak terlepas dari kenangan masa kecil saat bersama teman-teman
sebaya.
Mencari ikan di sawah dan bermain layang-layang pasca musim panen padi tiba adalah hal yang tak bisa dilupakan. Bermain bola di lapangan kebun kelapa ketika sore hari selepas mandi di sungai Krueng Peusangan yang airnya sangat jernih itu, adalah sederet kenangan yang ikut membentuk karakteristik kehidupan saya hingga beranjak dewasa saat ini.
Mencari ikan di sawah dan bermain layang-layang pasca musim panen padi tiba adalah hal yang tak bisa dilupakan. Bermain bola di lapangan kebun kelapa ketika sore hari selepas mandi di sungai Krueng Peusangan yang airnya sangat jernih itu, adalah sederet kenangan yang ikut membentuk karakteristik kehidupan saya hingga beranjak dewasa saat ini.
Gampong
saya juga sama seperti gampong-gampong di Aceh lainnya. Lebih beruntung jika sebelah
timur di batasi dengan Krueng Peusangan, sebelah barat daya sebagai areal
persawahan yang cukup luas. Masyarakat yang mendiamai kampung saya kebayakan
berprofesi sebagai petani sekaligus peternak sapi. Disamping ada yang bergelut
sebagai pedagang dan satu dua orang sebagai Pegawai Negeri Sipil, selebihnya
adalah wiraswasta yang tak jelas kadang-kadang mata pencahariannya, sebagai
pemanjat kelapa atau kuli tambang pasir di sungai Krueng Peusangan.
Saya
lahir di desa Pulo Reudeup, 20 Kilometer arah timur kota kabupaten Bireuen.
Pulo Reudeup berada di kecamatan Kutablang. Sebuah kecamatan hasil pemekaran
dari kecamatan induknya, Gandapura. Untuk sampai ke gampong Pulo Reudeup tidaklah
terlalu sulit, dari jalan Medan-Banda Aceh hanya berjarak sekitar 800 meter ke
arah selatan sebelum sungai Peusangan. Tepatnya di titi jembatan kutablang ke
arah sebelah kiri. Jika menuju ke kota kecamatan maka jalurnya mencapai 1.5
kilometer lebih. Namun, kedekatan jarak ke jalan nasional tidak membuat gampong
saya boleh disebut maju. Artinya, jika kita lihat dari sosial kehidupan
masyarakatnya yang masih hidup dalam serba berkesusahan dalam bidang ekonomi mereka
masih dikatakan sebagai pencari bambu beras sehari-sehari.
Pembangunan jalan desa yang masih jalan-jalan berbatu dan berlubang. Kalau meunasah juga masih berbentuk rumah panggung. Pakah ini perlu dipertahankan? Dari segi pendidikan misalnya, di mana di gampong saya tidak memiliki satupun Sekolah Dasar (SD) apalagi Sekolah Menengah Atas( SMA). Tahun 2003 Gampong saya baru dibangun sebuah lembaga pendidikan islam, Dayah Nurussyabab yang cikal-bakalnya hasil inisiatif seorang pemuda desa lalu kemudian dibantu oleh masyarakat gampong.
Pembangunan jalan desa yang masih jalan-jalan berbatu dan berlubang. Kalau meunasah juga masih berbentuk rumah panggung. Pakah ini perlu dipertahankan? Dari segi pendidikan misalnya, di mana di gampong saya tidak memiliki satupun Sekolah Dasar (SD) apalagi Sekolah Menengah Atas( SMA). Tahun 2003 Gampong saya baru dibangun sebuah lembaga pendidikan islam, Dayah Nurussyabab yang cikal-bakalnya hasil inisiatif seorang pemuda desa lalu kemudian dibantu oleh masyarakat gampong.
Jika
ada anak-anak gampong saya yang ingin bersekolah, mereka harus bersekolah di
kota kecamatan. Tentu saja tidak heran hingga saat ini masih banyak orang dikampung saya hanya tamatan Sekolah Menengah
Tingkat Pertama(SLTP). Ada banyak alasan mereka tidak mau sekolah
tinggi-tinggi. Kadang mereka menyebut; untuk apa sekolah tinggi sekali, sebab
semua jabatan mulia dari Geuchik sampai Presiden sudah ada orang lain. ini
alasan klasik disamping pengaruh anak-anak setingkat SLTP yang sudah menjadi
kuli tambang pasir di gampong tetangga, Tingkeum Baroe mencari uang sendiri. Alasan
klasik memang, hingga ketika kita lihat sekarang ini sangat jarang sekali ada
anak-anak desa kami yang menempuh pendidikan sampai ke jenjang perguruan
tinggi. Baru pada tahun 2005 anak-anak tamatan SMA yang melanjutkan ke
Universitas Al-Muslim Matan Glumpang Dua yang berjarak 7 kilometer ke arah kota
Bireuen.
Saya
termasuk orang yang beruntung terlahir dari seorang Ayah yang berprofesi
sebagai guru Sekolah Dasar di kota kecamatan, hingga inilah alasan saya mengapa
bisa menempuh pendidikan ke Universitas Syiah Kuala seperti sekarang ini. Inilah
yang saya sebut, gampong saya jauh sekali.
Secara
antropologis, semua orang Aceh merupakan masyarakat sosial keagamaan.
Profesor M. Hakim Nya’ Pha (1998) menyebutkan bahwa sebagai masyarakat
teritorial keagamaan di Aceh, kehidupan keluarga di Aceh yang bersifat parental
dan dalam hal-hal tertentu bersifat bilateral, mendiami suatu wilayah yang
disebut gampong dan kehidupannya berkisar pada Meunasah atau masjid.
Meunasah
bukan hanya sebagai tempat melakukan ritual keagamaan semata. Semua meunasah di
Aceh berfungsi ganda. Sebagai tempat pertemuan perangkat gampong dalam
melakukan konsolidasi kemasyarakatan gampong dan sebagai tempat untuk mengambil
segala keputusan musyawarah yang berkenaan dengan pembangunan/kemajuan desa. Kadang
kala meunasah juga dijadikan sebagai tempat Pos Pelayan Terpadu (Posyandu) dari
pihak puskesmas kecamatan untuk memberikan penyuluhan kesehatan bagi masyarakat
gampong tersebut.
Jika
saja meunasah sebagai lembaga, dalam arti tempat beraktivitas keagamaan
dan sosial, maka lembaga ini merupakan salah satu lembaga yang cukup besar
peranan dalam membantu pelaksanaan pemerintahan. Mengingat lembaga ini sangat
dekat kultur dan tata kehidupan masyarakat adat gampong.
Meunasah
sebagai tempat kedaulatan dan demokrasi yang berlangsung di tingkat gampong,
benar-benar dilaksanakan(misalnya pada saat pemilihan Geuchik, Pilkada, dan
Pemilu). Dalam gampong dikenal dengan musyawarah mufakat, yakni segala
persoalan diselesaikan secara pertukaran pendapat secara beramai-ramai dengan
masyarakat yang mendiamai gampong itu. Ini terjadi di Meunasah.
Snouck
Hurgrunje, menyebut meunasah punya pengertian sendiri, yakni sebagai tempat
ibadah dan sebagai tempat menginap bagi kaum pria yang sudah aqil baligh
serta pria gampong lain yang singgah di gampong itu. Tapi kondisi
seperti ini sudah sangat jarang terjadi di gampong-gampong di Aceh saat ini. Begitu
juga dengan gampong saya.
Dalam
hal ini, meunasah sebagai sarana masyarakat gampong menjalankan roda
pemerintahan tingkat gampong, dan keberadaan meunasah menggambarkan ciri khas sebuah
gampong, karena setiap gampong ada meunasah. Kalau tidak ada meunasah,
tidak dapat disebut gampong, (Iskandar A. Gani, 1998) bagaimana dengan kondisi
sekarang ini di Aceh?
Di
gampong terdapat beberapa lembaga adat yang sifatnya sangat profesional
dalam mengelola pemerintahan gampong. Lembaga adat yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat di Aceh adalah: Tuha Peut, Imum Meunasah, Tuha lapan, Keujruen
Blang, Panglima Laot, Peutua Seuneubok, Haria Peukan, Syahbanda dan
lembaga-lembaga adat yang disebut dengan nama lain, (Pasal 2 ayat 1 dan 2, Qanun
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat). Lembaga adat berfungsi sebagai
wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan,
pembinaan masyarakat, dan penyelesaian masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Gampong
tempat saya lahir dan dibesarkan memiliki lembaga adat seperti itu hingga
sekarang masih berjalan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Sekali waktu
saya berpikir bahwa kehidupan gampong sangat indah dan menyenangkan sekali
dibandingkan dengan tatanan kehidupan sosial masyarakat kota-kota besar, di mana
rasa kepekaan masyarakat sesama yang tidak memperdulikan satu sama lain.
Pembangunan
pendidikan di gampong saya masih sangat minim sekali, awalnya ketika saya kuliah
di Unsyiah saya sempat berpikir seandainya di gampong saya dibangun sebuah
pustaka mini dengan fasilitas internet di dalamnya. Anak-anak desa dapat
termotivasi dengan melihat dunia luar yang sudah sangat maju dari daerahnya.
ini semestinya menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Aceh untuk memikirkan
masalah ini. Bayangkan andai semua anak-anak gampong duduk membaca buku
dipustaka gampong sehabis pulang sekolah dan dapat melakukan kreativitasnya
sebagai anak-anak yang beranjak remaja penerus generasi Aceh di masa yang akan
datang. Anak-anak yang dapat menentukan jalan pikirannya masing-masing dengan
membaca tanpa terpengaruh dengan media siaran televisi yang sangat meresahkan
masyarakat kita dewasa ini. Tapi sekarang, gampong saya masih jauh sekali dari
hal itu! Dan saya sangat menginginkannya ini terjadi di gampong yang telah
membesarkan saya seperti saat ini. Semoga bisa.[]