KITABMAOP

Untuk Mengingat Dan Melawan Kesepian

Post Top Ad

#hastek

ESSAI (70) BERITA MEDIA (47) CATATAN HARIAN (47) GoBlog (12) PUISI (11) CERPEN (8)

19 January 2014

Caleg Pohon

OPINI | Muhadzdzier M. Salda | sumber: Harian Serambi Indonesia, Senin 20 Januari 2014

capture by @azirmaop | situs serambi indonesia
JELANG Pemilu Legislatif pada 9 April 2014, yang tak sampai 100 hari lagi, para calon anggota legislatif (caleg) dari berbagai partai politik peserta Pemilu 2014 untuk tingkat DPR RI/DPRA/DPRK semakin gencar melakukan kampanye politik. Menarik simpati rakyat untuk memilih mereka sebagai wakil rakyat (yang terhormat?). Lalu, seberapa pantas rakyat akan memilihnya, jika dari tahun ke tahun periode anggota dewan, belum juga melakukan fungsi mereka sebagai wakil rakyat dengan
benar?
Sumbo Tinarbuko, Dosen Komunikasi Visual di Institute Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, menyebutkan bahwa; menjamurnya sampah visual iklan politik yang terpasang secara ngawur cenderung menurunkan citra, kewibawaan, reputasi dan nama baik parpol dan caleg itu sendiri. Sumbo bahkan menyebut sampah visual itu sebagai teroris visual yang meneror ruang publik. Sumbo mendirikan Komunitas Reresik Sampah Visual demi mengajak masyarakat, pemerintah, anggota DPR, pejabat publik untuk membangun kesadaran bersama dalam mewujudkan ruang publik menjadi milik publik (Kompas, 14/9/2013). 


Komunitas tersebut juga menjadi ajang berkumpulnya anak muda yang peduli pada ruang publik serta lingkungan. Lalu bagaimana dengan anak muda di Aceh? Selain hanya sesekali para Satpol-PP yang turun langsung membersihkan spanduk-spanduk yang dilarang dipasang ditempat publik, selebihnya para pegiat lingkungan di Aceh masih sebatas kampanye melalui media sosial.

Guyonan politik
Setiap pemilu tiba, guyon yang cukup sering berkembang di telinga kita adalah tentang perbedaan antara Pil KB dengan Pilkada; Jika pilkada disebutkan setelah ‘jadi’ maka akan ‘lupa’, sedangkan Pil KB jika ‘lupa’ maka akan ‘jadi’. Guyonan politik itu sudah menjadi bahan candaan umum di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Tidak salah memang, jika humor politik itu membuat rakyat tertawa sementara waktu, mengingat begitu banyak kasus-kasus anggota legislatif yang lupa pada janji-janji politiknya sewaktu kampanye. Tiap pemilu tiba, rakyat cuma dapat pembagian sirup atau kain sarung sumbangan bersyarat dari para caleg, selebihnya rakyat jadi korban dari tindakan dan keputusan anggota dewan yang tidak memihak kepada rakyat. Lagi lagi rakyat ditipu.

Diakui atau tidak, ramai sekali orang-orang tak sengaja menjadi anggota DPR, maka akan berkurang jumlah angka pengangguran di Aceh. Jabatan sebagai anggota dewan jadi sebuah pekerjaan tetap untuk menumpuk harta berlimpah. Banyak yang sebelum jadi anggota DPR, hidupnya biasa saja, kemudian jadi borjuis nan megah dengan mengenderai mobil mewah dan rumah bertingkat pula. Belum lagi kita cerita soal bagaimana cerita miring tentang perjalanan ke luar kota dengan menggandeng wanita-wanita cantik yang aduhai. Mereka tidak ada urusan lagi dengan suara suara sumbang rakyat kelaparan dan derita kemiskinan akut yang telah memilihnya dulu.

Kembali lagi ke soal caleg di pohon yang jadi penunggu siang dan malam melempar senyum khas tanpa dosa ke pengguna jalan raya. Hingga malam hari, hantu pun akan takut berkeliaran melihat wajah para caleg pohon. Spanduk dan banner yang mereka tempel itu menjadi pandangan mata kita berkunang-kunang. Itulah sampah visual bagi pemandangan akhir ini jelang pemilu. Para caleg itu tidak peduli dengan banyaknya kasus kasus spanduk dan banner coret dan dirusak oleh tangan-tangan usil.

Tentu saja tidak ada yang salah, caleg yang mempromosikan dirinya dengan berbagai media untuk menarik simpati para pemilih, tetapi harus sesuai dengan etika dan aturan kampanye yang telah diatur dalam peraturan KPU. Berbagai macam cara dilakukan oleh partai politik dan caleg sewaktu kampanye dalam mencuri ruang publik jadi kepentingan mereka dalam menyosialisasikan dirinya.
Mereka tidak peduli jika itu telah melanggar aturan hukum berkampanye sebagaimana peraturan KPU No.15 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Legislatif, pada Pasal 17 disebutkan aturan bagi caleg dan partai politik untuk tidak memasang alat peraga kampaye ditempat tempat seperti tempat ibadah, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, gedung pemerintah, lembaga pendidikan (gedung, sekolah) jalan jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan.

Lalu bandingkan dengan spanduk atau banner yang selama ini dipasang di tempat-tempat yang saya sebut d iatas? Sudah berapa banyak partai politik dan caleg yang melanggar aturan yang sudah diatur oleh KPU? Calon anggota legislatif sebagaimana akan menjadi wakil dari rakyat di daerah pemilihannya harusnya jadi wakil yang punya etika dan beradab. Setidaknya dalam kampanye politik harus melaksanakan cara-cara yang beradab dan bermoral. Betapa hari ini masih sangat banyak sekali para caleg yang menempelkan spanduk dan memaku pohon dipinggir jalan serta sudut simpang dijalan jalan dikampung atau lorong-lorong desa.

Senyum sumringah caleg meriah tanpa merasa berdosa, wajah penuh harap memaksa kita harus menatapnya dengan penuh iba. Mereka tidak peduli walaupun kita tidak pernah membalas senyum mereka. Wajah dispanduk dengan foto yang sudah diedit sedemikan mulusnya, yang laki-laki memakai baju jas berdasi demikian tampannya tanpa cela, begitu juga dengan caleg perempuan yang cantik mempesona dengan balutan jilbab mempesona. Heran juga kita kenapa mereka tidak pernah lelah tersenyum penuh harap agar rakyat memilihnya menjadi wakil mereka.

Spanduk atau umbul-umbul caleg yang memaku dan menempel dipohon, bermalam malam tanpa lelah menunggu orang berbalas senyum mereka. Entah dimana bentuk dan pengetahuan para caleg itu dalam melakukan kampanye yang beradab dan punya etika. Mereka tidak peduli pohon yang kesakitan karena dipaku. Jika pohon dan lingkungan saja tidak mereka peduli, bagaimana mereka nantinya akan peduli pada rakyat yang diwakilinya? Jika aturan KPU saja berani mereka langgar, maka saat terpilih nanti, mereka tentu akan berani melanggar janji yang telah mereka buat kepada rakyat di daerah pemilihannya.

Sampah visual
Banyaknya kasus caleg yang menempel spanduk dan banner di pohon membuat jalan jalan kian semak dan semraut dengan wajah-wajah tanpa merasa berdosa menghiasi jalan kota dan desa. Spanduk itu menjadi sampah visual yang cukup merusak taman dan mencederai pohon. Andai pohon bisa berbicara, ia akan melawan dengan rasa sakit oleh paku yang ditekankan ke badan mereka.

Bawaslu, KIP dan Satpol-PP harus rutin bergerak menertibkan baliho/spanduk/umbul-umbul dan alat peraga kampanye lainnya dari parpol/caleg yang melanggar aturan pemasangan dan mencuri ruang publik. Harus terus dipantau dan dijaga, agar tidak sampai merusak taman dan lingkungan kota yang sudah tertata dengan baik. Parpol harus terus menjaga citra dan wibawanya, sosialisasikan kepada timses masing-masing untuk tidak memasang alat peraga kampanye dengan memaku pohon.

Akhirnya sebagai rakyat, selemah-lemahnya perlawan masyarakat tentunya berharap kepada parpol dan caleg untuk menjaga sikap dan wibawa dalam berkampanye. Lakukan cara-cara yang beretika. Atau kepada rakyat, mari kita kampanyekan tidak perlu memilih “caleg pohon” yang merusak lingkungan. Katakan tidak layak dipilih kepada orang-orang sekitar kita. Ingat, jika pohon saja sebagai makhluk tak bergerak berani mereka sakiti, apalagi kita sebagai manusia. Nah!

*Muhadzdzier M. Salda, Pengurus Himpunan Mahasiswa Magister Ilmu Kebencanaan (Hibeuna), Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh. Email: muhadzdzier@gmail.com

1 comment:

  1. Kasihan Pohon-pohon itu. Jika saja mereka punya mulut dan air mata. Mungkin kita akan bisa mendengar atau melihat airmatanya ...

    ReplyDelete