OPINI | Muhadzdzier M. Salda | sumber: Harian Serambi Indonesia, Senin 20 Januari 2014
capture by @azirmaop | situs serambi indonesia |
JELANG Pemilu Legislatif pada 9 April 2014, yang
tak sampai 100 hari lagi, para calon anggota legislatif (caleg) dari berbagai
partai politik peserta Pemilu 2014 untuk tingkat DPR RI/DPRA/DPRK semakin
gencar melakukan kampanye politik. Menarik simpati rakyat untuk memilih mereka
sebagai wakil rakyat (yang terhormat?). Lalu, seberapa pantas rakyat akan
memilihnya, jika dari tahun ke tahun periode anggota dewan, belum juga
melakukan fungsi mereka sebagai wakil rakyat dengan
benar?
Sumbo Tinarbuko, Dosen Komunikasi Visual di
Institute Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, menyebutkan bahwa; menjamurnya
sampah visual iklan politik yang terpasang secara ngawur cenderung menurunkan
citra, kewibawaan, reputasi dan nama baik parpol dan caleg itu sendiri. Sumbo
bahkan menyebut sampah visual itu sebagai teroris visual yang meneror ruang
publik. Sumbo mendirikan Komunitas Reresik Sampah Visual demi mengajak
masyarakat, pemerintah, anggota DPR, pejabat publik untuk membangun kesadaran
bersama dalam mewujudkan ruang publik menjadi milik publik (Kompas,
14/9/2013).
Komunitas tersebut juga menjadi ajang
berkumpulnya anak muda yang peduli pada ruang publik serta lingkungan. Lalu
bagaimana dengan anak muda di Aceh? Selain hanya sesekali para Satpol-PP yang turun
langsung membersihkan spanduk-spanduk yang dilarang dipasang ditempat publik,
selebihnya para pegiat lingkungan di Aceh masih sebatas kampanye melalui media
sosial.
Guyonan politik
Setiap pemilu tiba, guyon yang cukup sering
berkembang di telinga kita adalah tentang perbedaan antara Pil KB dengan
Pilkada; Jika pilkada disebutkan setelah ‘jadi’ maka akan ‘lupa’, sedangkan Pil
KB jika ‘lupa’ maka akan ‘jadi’. Guyonan politik itu sudah menjadi bahan
candaan umum di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Tidak salah
memang, jika humor politik itu membuat rakyat tertawa sementara waktu,
mengingat begitu banyak kasus-kasus anggota legislatif yang lupa pada
janji-janji politiknya sewaktu kampanye. Tiap pemilu tiba, rakyat cuma dapat
pembagian sirup atau kain sarung sumbangan bersyarat dari para caleg,
selebihnya rakyat jadi korban dari tindakan dan keputusan anggota dewan yang
tidak memihak kepada rakyat. Lagi lagi rakyat ditipu.
Diakui atau tidak, ramai sekali orang-orang tak
sengaja menjadi anggota DPR, maka akan berkurang jumlah angka pengangguran di
Aceh. Jabatan sebagai anggota dewan jadi sebuah pekerjaan tetap untuk menumpuk
harta berlimpah. Banyak yang sebelum jadi anggota DPR, hidupnya biasa saja,
kemudian jadi borjuis nan megah dengan mengenderai mobil mewah dan rumah
bertingkat pula. Belum lagi kita cerita soal bagaimana cerita miring tentang
perjalanan ke luar kota dengan menggandeng wanita-wanita cantik yang aduhai.
Mereka tidak ada urusan lagi dengan suara suara sumbang rakyat kelaparan dan
derita kemiskinan akut yang telah memilihnya dulu.
Kembali lagi ke soal caleg di pohon yang jadi
penunggu siang dan malam melempar senyum khas tanpa dosa ke pengguna jalan
raya. Hingga malam hari, hantu pun akan takut berkeliaran melihat wajah para
caleg pohon. Spanduk dan banner yang mereka tempel itu menjadi pandangan mata
kita berkunang-kunang. Itulah sampah visual bagi pemandangan akhir ini jelang
pemilu. Para caleg itu tidak peduli dengan banyaknya kasus kasus spanduk dan
banner coret dan dirusak oleh tangan-tangan usil.
Tentu saja tidak ada yang salah, caleg yang
mempromosikan dirinya dengan berbagai media untuk menarik simpati para pemilih,
tetapi harus sesuai dengan etika dan aturan kampanye yang telah diatur dalam
peraturan KPU. Berbagai macam cara dilakukan oleh partai politik dan caleg
sewaktu kampanye dalam mencuri ruang publik jadi kepentingan mereka dalam
menyosialisasikan dirinya.
Mereka tidak peduli jika itu telah melanggar
aturan hukum berkampanye sebagaimana peraturan KPU No.15 Tahun 2013 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kampanye Legislatif, pada Pasal 17 disebutkan aturan bagi
caleg dan partai politik untuk tidak memasang alat peraga kampaye ditempat
tempat seperti tempat ibadah, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan,
gedung pemerintah, lembaga pendidikan (gedung, sekolah) jalan jalan protokol,
jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan.
Lalu bandingkan dengan spanduk atau banner yang
selama ini dipasang di tempat-tempat yang saya sebut d iatas? Sudah berapa
banyak partai politik dan caleg yang melanggar aturan yang sudah diatur oleh
KPU? Calon anggota legislatif sebagaimana akan menjadi wakil dari rakyat di
daerah pemilihannya harusnya jadi wakil yang punya etika dan beradab.
Setidaknya dalam kampanye politik harus melaksanakan cara-cara yang beradab dan
bermoral. Betapa hari ini masih sangat banyak sekali para caleg yang
menempelkan spanduk dan memaku pohon dipinggir jalan serta sudut simpang dijalan
jalan dikampung atau lorong-lorong desa.
Senyum sumringah caleg meriah tanpa merasa
berdosa, wajah penuh harap memaksa kita harus menatapnya dengan penuh iba.
Mereka tidak peduli walaupun kita tidak pernah membalas senyum mereka. Wajah
dispanduk dengan foto yang sudah diedit sedemikan mulusnya, yang laki-laki
memakai baju jas berdasi demikian tampannya tanpa cela, begitu juga dengan
caleg perempuan yang cantik mempesona dengan balutan jilbab mempesona. Heran
juga kita kenapa mereka tidak pernah lelah tersenyum penuh harap agar rakyat
memilihnya menjadi wakil mereka.
Spanduk atau umbul-umbul caleg yang memaku dan
menempel dipohon, bermalam malam tanpa lelah menunggu orang berbalas senyum
mereka. Entah dimana bentuk dan pengetahuan para caleg itu dalam melakukan
kampanye yang beradab dan punya etika. Mereka tidak peduli pohon yang kesakitan
karena dipaku. Jika pohon dan lingkungan saja tidak mereka peduli, bagaimana
mereka nantinya akan peduli pada rakyat yang diwakilinya? Jika aturan KPU saja
berani mereka langgar, maka saat terpilih nanti, mereka tentu akan berani
melanggar janji yang telah mereka buat kepada rakyat di daerah pemilihannya.
Sampah visual
Banyaknya kasus caleg yang menempel spanduk dan
banner di pohon membuat jalan jalan kian semak dan semraut dengan wajah-wajah
tanpa merasa berdosa menghiasi jalan kota dan desa. Spanduk itu menjadi sampah
visual yang cukup merusak taman dan mencederai pohon. Andai pohon bisa
berbicara, ia akan melawan dengan rasa sakit oleh paku yang ditekankan ke badan
mereka.
Bawaslu, KIP dan Satpol-PP harus rutin bergerak
menertibkan baliho/spanduk/umbul-umbul dan alat peraga kampanye lainnya dari
parpol/caleg yang melanggar aturan pemasangan dan mencuri ruang publik. Harus
terus dipantau dan dijaga, agar tidak sampai merusak taman dan lingkungan kota
yang sudah tertata dengan baik. Parpol harus terus menjaga citra dan wibawanya,
sosialisasikan kepada timses masing-masing untuk tidak memasang alat peraga
kampanye dengan memaku pohon.
Akhirnya sebagai rakyat, selemah-lemahnya
perlawan masyarakat tentunya berharap kepada parpol dan caleg untuk menjaga
sikap dan wibawa dalam berkampanye. Lakukan cara-cara yang beretika. Atau
kepada rakyat, mari kita kampanyekan tidak perlu memilih “caleg pohon” yang
merusak lingkungan. Katakan tidak layak dipilih kepada orang-orang sekitar
kita. Ingat, jika pohon saja sebagai makhluk tak bergerak berani mereka sakiti,
apalagi kita sebagai manusia. Nah!
*Muhadzdzier M. Salda, Pengurus
Himpunan Mahasiswa Magister Ilmu Kebencanaan (Hibeuna), Universitas Syiah Kuala
(Unsyiah), Banda Aceh. Email: muhadzdzier@gmail.com
Kasihan Pohon-pohon itu. Jika saja mereka punya mulut dan air mata. Mungkin kita akan bisa mendengar atau melihat airmatanya ...
ReplyDelete