Parkir Suka Suka
Saya suka kesal dan jengkel dengan pengendara kenderaan yang suka memarkirkan mobil/motornya di tempat larang parkir. Dipersimpangan jalan misalnya, orang tidak peduli dengan diparkirnya mobil membuat ruas jalan jadi sempit dan melambat bagi pengguna jalan lainnya yang melintas. Ini berimbas pada kemacetan lalulintas. Apalagi jika tiba-tiba ada mobil ambulan lewat, harus diprioritaskan jalan karena sedang membawa pasien gawat darurat.
Ada juga pengendara yang tidak bisa membaca rambu-rambu lalulintas dengan baik dan benar. Misalnya banyak pengendara yang tidak bisa membedakan rambu larangan parkir dan larangan berhenti (stop). Rambu larangan parkir ditandai dengan huruf P kapital dicat warna hitam. Huruf P ini dicoret menyilang dengan warna merah. Huruf P sendiri dimaksudkan sebagai parkir. Sementara larangan berhenti ditandai rambu lingkaran huruf S kapital berwarna hitam dicoret menyilang dengan warna merah. Huruf S sendiri dimaksudkan sebagai STOP.
Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan disebutkan definisi parkir adalah kondisi kenderaan berhenti sementara dan ditinggalkan oleh pengendara dari kursi pengemudi. Sedangkan berhenti adalah keadaan kenderaan tidak bergerak untuk sementara waktu dan dengan pengemudi tetap berada dibangku kemudi.
Pertanyaannya adalah apakah Anda bisa membedakan kedua rambu larangan tersebut? Pada rambu larangan berhenti, jangankan untuk parkir kita tidak diperkenankan sekalipun berhenti dengan radius 15 meter atau atas petunjuk rambu lainnya.
Sementara para rambu larangan parkir, kita boleh berhenti sebentar dengan syarat menghidupkan mesin, menyalakan lampu kuning, tidak meninggalkan kenderaan dari bangku kemudi dan untuk waktu tidak lama berhenti. Bisa 3-5 menit. Kedua rambu larangan ini, kerap sulit dibaca dan dipahami dengan baik oleh pengendara baik itu mobil atau sepeda motor. Rambu rambu lalulintas ini bertujuan untuk kemaslahatan penggunan lalulintas, dipatuhi untuk ketertiban bersama pengguna jalan lainnya.
Saya pernah kagum dengan cerita seorang teman saat menghadiri sebuah hajatan kenduri dilokasi padat rumah penduduk dan lahan parkir yang sempit bagi tamu undangan yang datang mengendarai mobil. Ia memilih tidak jadi masuk ke rumah sang empunya hajatan, memilih pulang karena tidak ada lahan untuk memarkirkan mobilnya. Ia khawatir, jika memarkirkan kenderaan dipinggir jalan, akan membuat akses lalulintas macet. Apalagi jika tiba-tiba akses jalan digunakan oleh kenderaan darurat, mobil pemadam kebakaran atau mobil ambulan. Menurutnya, kepentingan akses jalan bagi publik jauh lebih penting daripada menghadiri sebuah hajatan.
Parkir suka-suka di sepanjang jalan utama lintasan kota, membuat kita kesal dan tingkah laku pengguna jalan. Sewaktu berangkat kerja di pagi hari misalnya, kita jadi saling berebut ruas jalan yang sempit karena ada pengguna yang memarkirkan kenderaan hingga ke badan jalan. Berhenti karen membeli kue atau mengantarkan anak ke sekolah. Satu sisi pengguna lain saling ngebut mengejar batas waktu absensi di kantor. Terlambat lima menit bisa berimbas pada pemotongan gaji.
Ada yang lebih kesal lagi, pengendara yang sengaja melambat kenderaan di jalan. Begitu kita intip, dia sedang asyik bertelepon ria. Mengemudi kenderaan membutuhkan konsetrasi, harus fokus tidak sembarang melakukan kegiatan lain. Kalau mau menelepon, silakan ke pingggir jalan, berhenti sebentar. Sebab jika terjadi kecelakaan, dapat merugikan pengguna jalan yang lain.
Pendidikan tinggi tidak menjamin seseorang akan patuh dan tertib dalam memarkirkan kenderaannya. Beberapa lokasi publik misalnya membuat larangan parkir dengan tulisan jelas terpampang. Aturan larangan dibuat demi kenyamanan dan ketertiban bersama sama. Tapi yang terjadi adalah, yang membuat aturan, justru dia sendjri yang melanggarnya. Ini manusia minim akhlak dan etika. Pramudya Ananta Toer, sastrawan lagenda Indonesia menyebutkan: seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.
Banda Aceh sebagai kota besar di Aceh, dengan jumlah kaum terdidik di atas rata-rata, harusnya tiap individu kita malu jika suka parkir kenderaan sembarangan dan mengganggu ketertiban umum. Harusnya kita sadar, bahwa memarkirkan kenderaan di tempat larangan parkir dan mengganggu ketertiban umum, juga bagian daripada pelanggaran syariat Islam itu sendiri. []
telah tayang di Tabloid Gema Baiturrahman, Jumat 18 maret 2020
https://gemabaiturrahman.id/parkir-suka-suka/