KITABMAOP

Untuk Mengingat Dan Melawan Kesepian

Post Top Ad

#hastek

ESSAI (70) BERITA MEDIA (47) CATATAN HARIAN (47) GoBlog (12) PUISI (11) CERPEN (8)

04 December 2015

Empat Desember dan Kenangan Masa Konflik

Mural Dinding Karya Idrus Bin Harun | koleksi foto pribadi
Tiba-tiba saya teringat pada empat desember tahun 2000. Saya baru memasuki kelas III di STM Bireuen. Kala itu, kami tidak bisa berangkat sekolah karena imbauan mogok massal. Mobil angkutan di jalan raya tidak berani beroperasi. Termasuk minibus Bireuen Express (BE) yang biasanya kami naik untuk berangkat ke sekolah dari Kutablang ke Kota Bireuen. Tahun itu, Bireuen baru saja menjadi Kabupaten, sebelumnya masih bergabung dengan Kabupaten Aceh Utara.

Ketika terjadi mogok massal, warga kampung kerap memilih tak bekerja ke luar rumah yang terlalu jauh. Jikapun berkumpul di pos jaga gampong atau kedai kopi, mereka mengupdate informasi dari sesama warga desa tetangga yang lain yang didapat dari mulut ke mulut. Suasana pasar kecamatan juga lengang. Hanya beberapa yang keras kepala saja berani keluar kedai kecamatan.

Masa itu pasukan GAM kerap keliling dan juga berpatroli ke kampung-kampung. Kadang juga memberondong iring-iringan mobil TNI/Brimob yang melintas di Jalan Medan Banda Aceh. Setelah kejadian pemberondongan, aparat keamanan dengan pasukan tambahan akan melakukan penyisiran. Dengan jangkauan radius sekian kilometer dari tempat kejadian perkara.

Terjadinya kontak tembak GAM dan TNI membuat warga gampong menghindar sementara waktu ke gampong tetangga. Ada juga yang tetap di rumah bersama keluarga. Jika aparat keamanan masuk gampong, Geuchik yang paling sering dicari untuk memberikan keterangan kepada komandan aparat.

Jika tak menjauh dari TKP kontak senjata, risikonya sangat besar sekali. Dampak pemeriksaan identitas KTP dan pertanyaan akan keberadaan anggota GAM. Biasanya, aparat keamanan yang menyisir ke gampong membawa serta informan, mata-mata itu dikenal dengan sebutan cu'ak pada masa konflik Aceh itu.

Pemeriksaan biasa pada kedai kopi saat warga sedang berkumpul, tiba-tiba TNI/Brimob datang dengan truk reo, dengan dinding truk yang sudah dilapisi batang pohon kepala anti peluru. Jika aparat sudah datang ke gampong, memilih diam di tempat adalah jalan agak baik. Kalau lari, maka akan dikejar dengan "timah panas." Warga dikumpulkan, diminta identitas KTP dan diperiksa wajah-wajah yang dicurigai sebagai pasukan GAM. Ada warga yang diambil, dibawa naik truk reo untuk pemeriksaan lanjutan. Beberapa dilepas kemudian hari, beberapa warga lain ada yang ditemukan sudah menjadi mayat yang dibuang di tepi jalan atau di sungai. 

Kala pemeriksaan saat jawaban tak memuaskan mereka, maka bakal kena telapak sepatu lars, ditinju perut dengan popor M16, atau kena push-up dengan ditekan sepatu lars di punggung. Saya pernah kena tinju sekali karena waktu menjawab dengan bahasa Indonesia yang kacau balau.

Alat komunikasi kala itu belum begitu semudah sekarang. Media sosial belum ada, bahkan hape saja tidak pernah kami lihat.  Jika saat itu sudah ada facebook, maka informasi begitu mudah tersebar ke publik. Kita demikian mudah dan cepat mengetahui kejadian kontak senjata dan informasi lainnya.

Kebiasaan pasca terjadi pemberondongan, kami bersama anak muda gampong harus lari menjauh dari TKP pemberondongan. Pasti ada penyisiran. Pernah harus lari menyeberang sungai, hingga sampai ke pinggiran laut yang jaraknya mencapai 15 dari gampong kami. Jika kondisi aman, kami baru memilih pulang, kadang besoknya. Kadang kala tidak bisa balik gampung karena hujan deras, air sungai keruh dan arus deras.

Masa mencekam hari 4 Desember kala itu ada himbauan dari panglima GAM setempat untuk menaikkan bendera bulan bintang di setiap rumah penduduk. Himbauan itu ditempel di pos jaga gampong atau meunasah. Katanya itu instruksi dari pimpian GAM pusat. Warga gampong melaksanakan perintah itu dengan penuh ketakutan risau bukan kepalang, tapi paling cuma sejam, saat ada penyisiran aparat BKO, bendera bulan bintang kami cabut dan sembunyikan di tempat yang aman. Jika ditemukan oleh serdadu, maka sang pemilik rumah akan diangkut ke pos kecamatan, dituduh sebagai simpatisan GAM.

Selesai penyisiran serdadu BKO, datang pasukan GAM yang berkendaraan motor, bendera bintang bulan disuruh naikkan kembali. Penduduk gampong serba salah. Risikonya bagi penduduk sipil tentu saja ada, kondisi warga yang paling rentan kena imbas dari konflik. Serdadu kala itu sangat sulit membedakan mana masyarakat sipil dan mana yang anggota GAM. Penduduk gampong dengan GAM ibarat air dengan ikan.

Pasukan elit polisi masa konflik kala itu adalah Brimob (Brigade Mobil). Umumnya mereka pasukan BKO (Bawah Kendali Operasi) langsung dari Markas Besar dari Jakarta. Saat TNI BKO atau Brimob BKO masuk kampung, yang mengerikan itu pasukan infantri TNI, mereka berjalan kaki menyisir ke penjuru tempat yang dicurigai sebagai basis GAM. Orang kampung menyebut aparat keamanan pemerintah dengan istilah; sipai. Saya tidak begitu tau, darimana asal sebutan untuk aparat keamanan pemerintah itu bermula.

Kejadian itu 15 tahun yang lalu. Saya tidak begitu kuat mengingat sekarang ini. Dua tahun kemudian saya sudah kuliah di Banda Aceh, suasana konflik tak begitu kuat terasa dibandingkan dengan di gampong. Beberapa teman sebaya saya ada yang sudah meninggal, ada yang hilang sampai sekarang tidak tau di mana kuburannya. Hari ini Aceh telah damai 10 tahun lalu sejak 15 Agustus 2005 terjadi perjanjian perdamaian antara GAM dan Pemerintah RI. Konflik tentu saja meninggalkan luka yang mendalam, bagi kita yang pernah mengalaminya dan bagi orang yang bahagia setelah kejadian itu.

Mari kita doakan, semua para syuhada yang telah berjuang untuk kesejahteraan Aceh untuk dilapangkan kuburnya, diterima segala amal ibadanya oleh Allah SWT. Aamiin, Ya Rabbi. []

No comments:

Post a Comment