KITABMAOP

Untuk Mengingat Dan Melawan Kesepian

Post Top Ad

#hastek

ESSAI (70) BERITA MEDIA (47) CATATAN HARIAN (47) GoBlog (12) PUISI (11) CERPEN (8)

29 March 2017

HFN 2017: Melihat Nusa Tenggara Timur di Gampong Nusa


Merayakan Keberagaman Indonesia dilakukan dengan banyak cara.  Hari Film Nasional 2017 yang jatuh pada tanggal 30 Maret diperingati secara meriah dan sederhana oleh masyarakat Gampong Nusa, Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar, Sabtu malam, 25 Maret 2016. Sebuah layar tancap yang didirikan seukuran seperempat lapangan futsal, tepatnya di halaman Meunasah desa setempat.

Acara itu terlaksana atas dukungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bekerjasama dengan Aceh Docomentary serta beberapa lembaga terkait lain. Malam itu, penonton umumnya dari warga gampong Nusa dari usia anak-anak, remaja, pemuda dan kaum ibu-ibu dan tetua gampong saling berbaur khusyuk menonton film berlatar belakang adat dan kondisi sosial masyarakat yang jaduh dari gampong mereka, Nusa Tenggara Timur.

Penonton juga datang dari warga Banda Aceh. Saya melihat beberapa teman teman komunitas muda kreatif duduk berbauar dengan warna ikut meramaikan ‘bioskop keliling’ itu. Jarak tempuh ke kampung Nusa dari Banda Aceh sekitar 20 menit perjalanan berkenderaan.

Gampong Nusa di Aceh Besar tidak asing bagi banyak pegiat pariwisata di Aceh, sejak beberapa tahun akhir ini menjadi kawasan wisata berbasis swakelola warga setempat. Bersama pemuda gampong, mereka mendirikan Lembaga Pariwisata Nusa (LPN) sebagai tempat untuk mengelola dan membantu para tamu wisata yang ingin berkunjung dan menikmati suasana kehidupan ala masyarakat desa. Bagi yang belum bertamu ke gampong Nusa, tidak ada salahnya mencoba Asyiknya Pesona Wisata Desa ala Gampong Nusa dan temukan keramahtamahan sambutan masyarakatnya.

Sejak lama, LPN ini telah menjadi wadah baru masyarakat dalam menjadikan desa mereka hingga dikenal ke banyak masyarakat luar. Selain LPN, warga Nusa sudah menyediakan Bank Sampah yang dikelola oleh Nusa Creatif Community, di mana setiap minggu para anak anak desa bisa menabung sampah dan mengolahnya menjadi barang yang berharga bernilai ekonomis.

Masyarakat gampong Nusa, sebuah desa di kecamatan Lhoknga Aceh Besar dengan nuasana alam dan pemandangan pegunungan hijau sejauh mata memandang. Sungai kecil mengalir air nan jernih, jika sore hari, anak-anak kerap bermandi di sungai ini. Area persawahan luas sebagai tanda jika warga di sini umumnya sebagai petani.

Kondisi itu tentu saja berbeda jauh dengan situasi peradaban masyarakat dusun Kerok, Kabupaten Timur Tengah Utara, NTT sebagaimana yang ditampilkan dalam film Aisyah; Biarkan Kami Bersaudara, disutradarai oleh Herwin Novianto produksi tahun 2016 itu berdurasi dua jam.

Film dengan pemeran utama Laudya Chintya Bella ini berlatar belakang sebuah desa di pedalaman NTT. Ribuan kilometer jaraknya dengan gampong Nusa di Aceh Besar. Secara kebetulan nama kedua tempat sama, NUSA; yang satu nama gampong dan yang satu lagi nama provinsi.

suasana pemutaran film Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara di halaman meunasah gampong Nusa, Lhoknga, Aceh Besar, Sabtu malam, 25 Maret 2017 | foto Aceh Documentary

Direktur Aceh Documentary, Jamaluddin Phonna dalam sepatah duakata saat menyampaikan sambutan di hadapan ratusan masyarakat gampong Nusa mengatakan, Aceh terpilih menjadi salah satu lokasi untuk memutarkan film-film terbaik guna menyemarakkan Hari Film Nasional 2017 yang puncaknya akan diperingati pada tanggal 30 Maret.

“Sebuah keberuntungan Aceh bisa dapat kesempatan sebagai salah satu lokasi yang dijadikan tempat perayaan HFN 2017. Melalui program pemutaran Film-film terbaik, ini menjadi kesempatan bagi kami di Aceh untuk bisa juga menyaksikan film film yang selama ini hanya bisa diakses di Jakarta,” sebut Jamal, filmmaker yang pernah jadi finalis Eagle Award MetroTV tahun 2011.

Menurutnya, sebuah film akan lebih baik itu bisa sampai ke penontonnya tanpa dibatasi geografis daerahnya. Inilah sesuai dengan tema HFN 2017: Merayakan Keberagaman Indonesia, lanjutnya lagi.

Jamal berharap menonton film ini tidak hanya bisa jadi hiburan semata, tapi juga bisa kita mengambil manfaat dari keberagaman penduduk Indonesia dari berbagai latar suku, ras dan agama untuk saling menghargai.

“Sebagaimana tema HFN tahun ini, Merayakan Keberagaman Indonesia. Semoga nilai keberagaman itu bisa kita petik dari film yang kita tonton,” ujarnya

HFN kali ini, ada 2 lokasi pemutaran film di Aceh; Mini Teater Aceh Documentary, Banda Aceh dengan memutarkan film film pendek terbaik dan di “bioskop keliling” Gampong Nusa, Aceh Besar untuk pemutaran film panjang, Aisyah: Biarkan Kami Bersaudara”

Tahun 2016 lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan pelaksana kegiatan dari Komunitas Tikar Pandan juga melakukan pemutaran film Sepatu Dahlan di halaman meunasan gampong Nusa, Lhoknga.

Muhammad Khaidir, Pj. Geuchik Gampong Nusa mengatakan pihaknya menyambut baik pemutaran film di desanya. Ia mengajak warga untuk bisa mengambil pelajaran dari film tersebut, tentang bagaimana memaknai keberagaman Indonesia, pesan pesan dalam film itu bisa diterapkan dalam kehidupan sehari hari nantinya.

Film Aisyah; Biarkan Kami Bersaudara berkisah tentang Aisyah (Laudya Cynthia Bella) yang baru saja lulus menjadi sarjana. Ia hidup dalam keluarga islam yang taat, di Jawa Barat. Suatu hari, Aisyah mendapat kabar dari yayasan tempat ia mendaftar jadi pengajar di daerah terpencil. Penempatannya di SD dusun Derok, Kabupaten Timur Tengah Utara, daerah tertinggal dan terpencil di pedalaman Nusa Tenggara Timur.

Dusun Derok tempat yang asing bagi Aisyah, ibunya menentang agar ia tak berangkat, apalagi NTT dikenal sebagai kawasan yang masih jauh tertinggal dari segi pembangunan; tidak ada jaringan seluler, tidak ada listrik, jika kemarau akan kesulitan air bersih. Kedatangan Aisyah ke dusun tersebut sempat terjadi kesalahpahaman dengan masyarakat setempat yang mengira Aisyah dianggap suster Maria, karena informasi yang awalnya diterima masyarakat, guru yang akan mengajar di desa mereka bernama suster Maria.

Kehadiran Aisyah sebagai pendatang baru bagi warga dan murid SD tersebut dibenci oleh salah satu murid, Lordis Defam yang memprovokasi teman sekelas yang ikutan tidak menerima kehadiran Ibu Aisyah yang seorang Muslim, sedangkan penduduk di dusun Derok beragama Katolik. Murid SD itu mengira Aisyah datang membawa misi tertentu. Aisyah beruntung kenal dengan Pedro (Arie Kriting), pemuda setempat yang berprofesi sebagai supir angkutan desa-kecamatan.

Laudya Cynthia Bella sukses memerankan sosok guru Aisyah, dipenghujung alur film ia bisa membawa suasana damai dan dicintai oleh murid-muridnya, hanya saja Lordis masih bersikap benci kepada Aisyah karena Lordis dipengaruhi oleh pamannya yang pernah menetap di Ambon saat daerah itu berkonflik dulu.

Toleransi keberagaman dua kultur yang berbeda digambarkan demikian kuat dalam cerita film ini. Sewaktu Aisyah ingin pulang kampung ke Jawa Barat jelang lebaran tiba, sebagaimana kebiasaan ummat muslim yang ingin merayakan hari lebaran di kampung halaman, saat itu warga tau kalau Aisyah tidak cukup uang tabungan untuk membeli tiket pesawat. Berbondong bondong warga ibu-ibu Dusun Derok mengumpulkan uang untuk membantu Aisyah agar bisa merayakan susana lebaran bersama keluarganya di kampung.

Bagi saya film itu cukup menarik ketika diputarkan di tempat mayoritas masyarakat beragama muslim, biar jadi pemahaman bersama bagaimana saling menghargai perbedaan soal keyakinan sesama penduduk Indonesia, sebagaiman tema yang diusung dalam Hari Film Nasional 2017 ini; Merayakan Keberagaman Indonesia; #SalingKenalMakinSayang []

No comments:

Post a Comment